Menggabungkan Pendapat Para Ahli Tafsir

Di antara bentuk kekeliruan dalam memahami penjelasan para ulama tafsir dalam menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an adalah sikap pilih-pilih pendapat ahli tafsir sesuai hawa nafsu.

Seperti kasus yang dahulu pernah ramai tentang tafsir surat Al-Maidah ayat 51,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim”.

Apa makna “auliya” dalam ayat ini?

Memang banyak tafsiran ulama tentang makna auliya. Di antara ulama ada yang menafsirkan auliya artinya walijah (orang kepercayaan). Ulama lain menafsirkan auliya artinya orang yang diberikan loyalitas. Ulama lain menafsirkan auliya artinya teman dekat. Ulama lain menafsirkan auliya artinya orang yang dicintai. Ulama lain menafsirkan auliya artinya pemimpin dan pejabat strategis.

Lalu pengikut hawa nafsu seenaknya berkata, “Ah kalo saya pilih tafsiran auliya yang artinya teman dekat. Jadi kalau non-Muslim jadi pemimpin, tidak apa-apa”. Ini sikap yang keliru dari orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai panutannya. Padahal, ketika tafsiran para ulama itu tidak saling kontradiktif, sikap yang benar adalah menggabungkan semuanya. Para ulama rahimahumullah mengatakan,

الجمع مقدَّم على الترجيح

“Menggabungkan (semua pendapat) lebih didahulukan daripada memilih salah satu”.

Sehingga makna auliya adalah teman dekat, orang kepercayaan, orang yang dicintai, orang yang diberikan loyalitas, dan juga pemimpin. Semua ini hendaknya tidak mengambil dari non-Muslim. Dan para ulama juga sepakat (tidak ada khilaf) tentang terlarangnya menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.

Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Muqaddimatut Tafsir,

الخلاف بين السلف في التفسير قليل، وخلافهم في الأحكام أكثر من خلافهم في التفسير، وغالب ما يصح عنهم من الخلاف يرجع إلى اختلاف تنوع لا اختلاف تضاد

Khilaf di antara para salaf dalam masalah tafsir itu sedikit. Dan khilaf mereka dalam masalah fikih lebih banyak daripada dalam tafsir. Dan umumnya ketika ada khilaf di antara salaf dalam masalah tafsir, itu adalah khilaf tanawwu’ (variasi), dan bukan khilaf tadhad (kontradiksi)“.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

اختلاف التنوع معناه أنه يجمع بين القولين في الجنس ويختلفان في النوع، فيكون الجنس اتفق عليه القائلان ولكن النوع يختلف، وحينئذ لا يكون هذا اختلافاً؛ لأن كل واحد منهما ذكر نوعاً كأنه على سبيل التمثيل

Ikhtilaf tanawwu’ maknanya adalah dua pendapat yang ada sebenarnya sama kategorinya, namun berbeda macamnya. Sehingga kedua ulama tafsir yang berbeda tadi sebenarnya sependapat namun hanya berbeda macam tafsirnya saja.

Dengan demikian, maka sejatinya ini bukan ikhtilaf. Karena masing-masing dari pendapat tersebut menyebut salah satu macam (dari hal yang sama), seolah-olah untuk memberikan contohnya” (Syarah Muqaddimatut Tafsir, hal. 30).

Misalnya dalam memahami ayat

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan “lahwal hadits” untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah, tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (QS. Luqman: 6).

Jumhur ulama tafsir menafsirkan “lahwal hadits” dengan al-ghinaa’ (nyanyian dengan musik). Sebagian ulama, menafsirkan “lahwal hadits” dengan semua bentuk lahwun (kesia-siaan).

Ini sebenarnya bukan ikhtilaf. Kalau kita paham penjelasan di atas, maka cara memahami tafsiran para ulama tentang ayat ini dengan benar adalah bahwa ayat melarang semua bentuk lahwun, dan salah satu contoh lahwun adalah musik. Sehingga dengan kata lain, ayat ini mengharamkan semua bentuk lahwun dan juga mengharamkan musik. Semua pendapat digabungkan, bukan dipilih-pilih seenaknya.

Dari sini jelas kekeliruan orang yang mengatakan, “Ah, kalo saya pilih pendapat yang menafsirkan lahwal hadits dengan semua bentuk lahwun. Jadi bagi saya musik halal”. Padahal ulama 4 mazhab telah sepakat dalam mengaramkan musik.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik dan hidayah.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67164-menggabungkan-pendapat-para-ahli-tafsir.html

Cerita Haji Seorang Yahudi yang Masuk Islam

Muhammad Asad lahir pada tahun 1900 dalam keluarga Yahudi Austria. Dia memeluk Islam pada tahun 1926 setelah tinggal dan bekerja di Timur Tengah sebagai jurnalis. Asad menghasilkan beberapa karya selama hidupnya, termasuk terjemahan Alquran yang sangat populer dalam bahasa Inggris.

Selain sebagai jurnalis, ia juga merupakan penulis berbakat. Karyanya berjudul The Road to Mecca (1952) menggambarkan cerita yang menyentuh tentang haji. Berikut penggambaran cerita hajinya seperti dikutip About Islam, Selasa (6/7).

1. Ka’bah

“Ini… adalah Ka’bah, tujuan kerinduan jutaan umat Muslim selama berabad-abad,” kata Asad. Untuk mencapai tujuan ini, para jamaah harus melakukan banyak pengorbanan. Ka’bah yang berbentuk kubus sempurna, seluruh bagiannya ditutupi dengan kain hitam. Keadaan di sini jauh lebih indah daripada karya arsitektur lain di dunia.

Hanya ada satu pintu masuk ke Ka\’bah, pintu perak di sisi timur laut, sekitar tujuh kaki di atas permukaan tanah sehingga hanya dapat dicapai melalui tangga yang ditempatkan di depan pintu di beberapa tempat.

Asad menyebut desain interiornya sangat sederhana. Lantai marmer yang dilengkapi beberapa karpet dan lampu perunggu serta perak tergantung di atap yang ditopang oleh balok-balok kayu. Sebenarnya, interior ini tidak memiliki arti khusus tersendiri karena kesucian Ka\’bah berlaku untuk seluruh bangunan yang merupakan kiblat, arah shalat bagi seluruh Muslim di dunia. Menuju simbol Keesaan Allah inilah ratusan juta Muslim di seluruh dunia menghadapkan wajah mereka dalam shalat lima kali sehari.

2. Hajar Aswad

Ada di bagian sudut timur bangunan, batu ini berwarna gelap yang dilengkapi bingkai perak. Hajar Aswad telah dicium oleh banyak generasi jamaah dan dihormati. Karena Nabi Muhammad pernah menciumnya, semua jamaah melakukan hal yang sama. Rasulullah tahu generasi selanjutnya akan selalu mengikuti teladannya. Saat para jamaah mencium Hajar Aswad, mereka merasa sedang memeluk Nabi dan semua Muslim lain yang telah berada di sini sebelum mereka.

3. Maqam Ibrahim

“Dan di sana saya berdiri di depan Maqam Ibrahim dan menatap keajaiban tanpa berpikir. Saya tersenyum, perlahan-lahan kegembiraan datang,” ujar Asad. Maqam Ibrahim merupakan lempengan marmer halus dengan pantulan sinar matahari di atasnya. Banyak para jamaah yang menghampiri. Mereka ada yang menangis, ada yang sambil berdoa, dan ada pula yang tidak mengucapkan kata apa pun sambil berjalan dengan kepala tertunduk.

Salah satu bagian haji adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Tidak hanya untuk menunjukkan rasa hormat kepada rumah Allah tapi untuk mengingat kembali tuntutan dasar kehidupan Islam.

Ka’bah adalah simbol Keesaan Tuhan dan gerakan tubuh jamaah di sekitarnya adalah ekspresi simbolis dari aktivitas manusia. Ini menyiratkan tidak hanya pikiran dan perasaan, semua yang terkandung dalam istilah kehidupan batiniah dan lahiriah harus aktif.

“Dan saya pun bergerak perlahan ke depan dan menjadi bagian dari barisan para jamaah yang mengelilingi Ka’bah. Mengelilingi Ka’bah teringat seperti tata surya yang bekerja,” ucap dia.

4. Gunung Arafah

“Saya berdiri memakai baju ihram putih di antara para jamaah yang tengah menghadap Gunung Arafah. Saya merenung hari itu, mengingat salah satu kutipan Alquran surat Al-Haqqah ayat 18:

يَوْمَىِٕذٍ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفٰى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah).”

Dan saat Asad berdiri di puncak bukit dan menatap ke bawah Dataran Arafat yang tak terlihat, kebiruan cahaya bulan dari lanskap terlihat. Ribuan tahun lalu, jutaan jamaah telah melewati rangkaian ini dengan khusyuk. Asad dikelilingi oleh para jamaah yang tidak saling kenal. Namun, ekspresi mereka sama, menunjukkan adanya kegembiraan. Mereka berseru takbir, “Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Beberapa dari mereka juga ada yang menangis seraya berteriak takbir.

“Setelah turun, saya melihat pemandangan di belakang saya. Ada ribuan jamaah berpakaian putih yang melambaikan tangan. Seiring saya menjauh, mereka perlahan-lahan hilang,” tuturnya.

Muhammad Asad lahir pada tahun 1900 dalam keluarga Yahudi Austria. Dia memeluk Islam pada tahun 1926 setelah tinggal dan bekerja di Timur Tengah sebagai jurnalis. Asad menghasilkan beberapa karya selama hidupnya, termasuk terjemahan Alquran yang sangat populer dalam bahasa Inggris.

IHRAM

Terkait Warga Jakarta Barat Positif Corona Nekad Jadi Imam Tarawih, Ini Alasan Ulama Mengharamkannya

Seorang bapak berinisial O berusia 82 tahun di Tambora, Jakarta Barat, terdeteksi positif corona. Ia nekad menjadi imam tarawih di musala. Sontak  28 jamaah yang ikut menjadi makmum berstatus orang dalam pemantauan (ODP), sebagaimana diberitakan Detik.com.

Padahal ulama sudah memfatwakan bahwa Muslim yang positif terjangkit corona itu dilarang berjamaah di masjid. Terkait hal ini, mufti di Timur Tengah mengeluarkan fatwa larangan berkerumunan di ruang publik, termasuk saat sholat jamaah. Hal ini karena mempermudah penyebaran virus corona, terlebih lagi bila sudah ada yang terdeteksi terkena virus tersebut. 

Syekh Bin Bayyah, ulama Mauritania yang menjadi mufti di Uni Emirat Arab mengeluarkan fatwa mengenai larangan sholat berjamaah bagi Muslim yang sudah positif terjangkit virus corona. (Baca: Fatwa Syaikh Ibn Bayyah terkait Virus Corona). Ia lebih baik mengisolasi diri daripada berkerumunan dengan publik. Mengapa demikian? Simak penjelasan lengkapnya di sini.

BINCANG SYARIAH

Inilah Alasan Kenapa Kematian Begitu Menakutkan

 Seorang arif berpetuah tentang kematian.“Life is not guaranteed at all, but death is absolutely guaranteed upon all, yet we still prepare for life more than death,” Mufti Ismail Menk.

Tidak ada misteri yang begitu menguncang dibandingkan dengan kematian. Kematian selalu menjadi guncangan besar yang menimpa bathin dan akal manusia. Kemajuan teknologi yang super canggih pun, tampaknya belum mampu mendeteksi kedatangan malaikat maut.

Meski begitu, kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Orang yang beriman, meyakini kematian adalah garis transisi. Bagi orang yang hidup dengan amal kebajikan, kematian akan membuatnya tersenyum. Sebab ia akan memasuki gerbang kehidupan baru yang penuh kenikmatan.

Kematian begitu seram. Tak bisa dipandang sebelah mata. Banyak manusia yang takut akan kematian. Terlebih terhadap doktrin eskatologi setelah kematian. Membuat orang mengekspresikannya dengan pelbagai macam cara. Tentu dengan harapan mendapatkan kebahagiaan kelak di alam lain.

Raja-raja Mesir, membangun Piramida dengan pucuknya yang runcing ke atas. Tujuannya agar kelak ia mati, memudahkan perjalanan ruhnya menuju ke eden (surga). Dengan meninggikan makam, maka perjalan arwah naik ke atas menjadi mudah. Lancar dan tak ada kemacetan.

Di belahan dunia lain, raja-raja di Tiongkok misalnya melakukan hal lain, ketika mati menyertakan pelbagai perhiasan yang mahal di peti mayatnya. Dan membuat bangunan yang kokoh dan megah. Pasalnya ia yakin, kematian merupakan transisi untuk menuju alam lain.

Islam memiliki doktrin tersendiri tentang kematian. Saban kematian menjemput, tak ada harta, tahta, keluarga, yang mampu menemani manusia, hanya amal dan kebajikan yang menjadi pendamping kelak di alam akhirat.

Lantas kenapa manusia begitu takut akan kematian? Profesor Komaruddin Hidayat dalam buku Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme menyatakan sebab kematian itu menakutkan karena manusia semasa hidupnya merasa dimanjakan oleh kenikmatan dunia.

Manusia itu lantas berpikir, kematian akan memutus kenikmatan dunia tersebut. Kematian adalah akhir dari kesenangan dunia. Pendek kata, kematian adalah puncak kekalahan dan penderitaan.

Kedua, kematian ditakuti karena manusia tak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia mati.  Laiknya kematian, pasca kematian pun menjadi misteri berkepanjangan. Sampai sekarang, tak ada seorang pun yang tahu nasibnya kelak di akhir kematiannya.

Keabadian jiwa dan hari perhitungan akan pasti terjadi. Itu adalah mekanisme keadilan Tuhan. Alangkah absurd dan nistanya pengorbanan perjuangan manusia, bila kelak setelah mati tak ada alam pengadilan dan hitungan lanjut. Lantas untuk apa adanya kebajikan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan, bila kelak pengadilan Ilahi ditiadakan?

ketiga, khawatir dengan keluarga yang akan ditinggalkan. Profesor Quraish Shihab dalam talk show Shihab & Shihab menerangkan, manusia takut mati biasanya adanya rasa khawatir dalam dirinya terkait keluarganya. Misalnya, bila ia wafat, siapa yang membiayai sekolah anaknya, belanja bulanan istrinya. Dan yang menjaga keluarganya.

Padahal Allah sudah mengingatkan manusia, kelak Allah dan malaikatnya yang akan mengurus keluarganya di dunia sehingga manusia yang meninggal tidak usah khawatir. Hal itu sebagaimana dikatakan dalam Firman Allah Swt QS. Fusshilat, ayat 31;

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ

Artinya;  “Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat”. ().

Keempat, manusia takut kematian sebab dosa yang begitu banyak. Pendosa biasanya takut akan kematian. Pasalnya, kelak akan ada hari perhitungan pengadilan. Manusia pendosa yang amal kebajikannya cetek, akan takut kelak disiksa dan diazab Allah di alam akhirat.

Itulah sebab manusia takut akan kematian. Beragam macamnya. Namun satu yang pasti, kematian akan datang. Ia pasti. Tapi tak ada yang tahu. Maut itu adalah maha dari Kemaha Tidaktahuan. Misteri yang belum terpecahkan.

Untuk itu, sebagai seorang muslim kita harus menyadari, dunia ini adalah rahmat ilahi kepada manusia. Sudah tanggung jawab kita untuk menjaganya. Dan dunia juga adalah amanat Tuhan bagi manusia, kelak kita akan diminta pertanggungjawaban. Pergunakanlah dunia untuk bekal kelak bertemu Ilahi di alam akhirat.

BINCANG SYARIAH

20 Doa dan Dzikir Saat Wabah Corona Melanda

Doa dan dzikir saat wabah corona melanda, silakan diamalkan, disebarkan, jangan lupa dihafalkan.

Doa yang Dibaca Waktu Kapan Pun

#01

Doa sapu jagat, meminta kebaikan di dunia dan akhirat

رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

ROBBANAA AATINAA FID DUN-YAA HASANAH, WA FIL AAKHIROTI HASANAH, WA QINAA ‘ADZAABAN NAAR.

Artinya: Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka.[1]

#02

Doa memohon kemudahan

اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

ALLOOHUMMA LAA SAHLA ILLAA MAA JA’ALTAHU SAHLAA, WA ANTA TAJ’ALUL HAZNA IDZAA SYI’TA SAHLAA.

Artinya: Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engk au buat mudah. Engkau yang mampu menjadikan kesedihan (kesulitan) – jika Engkau kehendaki – menjadi mudah.[2]

#03

Doa agar diperbagus akhir setiap urusan, juga diselamatkan dari kebinasaan dunia dan akhirat

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُوْرِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

ALLOOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUN-YAA WA ‘ADZAAِBIL AAKHIROH.

Artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat.[3]

#04

Doa orang yang sedang berduka

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

ALLOOHUMMA ROHMATAKA ARJUU, FA LAA TAKILNII ILAA NAFSII THORFATA ‘AININ, WA ASH-LIHLII SYA’NII KULLAHU, LAA ILAAHA ILLAA ANTA

Artinya: Ya Allah, dengan rahmat-Mu, aku berharap, janganlah Engkau sandarkan urusanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku seluruhnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau.[4]

#05

Doa saat mendapat kesulitan seperti yang dibaca oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

HASBUNALLOOHU WA NI’MAL WAKIIL.

Artinya: Cukuplah Allah yang menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.

#06

Doa meminta agar diangkat dari kesulitan yang dibaca oleh Nabi Yunus ‘alaihis salam

لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN

Artinya: Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang berbuat aniaya.[5]

#07

Doa agar diberikan ketenteraman hati dan dihilangkan kesedihan

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، اِبْنُ عَبْدِكَ، اِبْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

ALLOOHUMMA INNI ‘ABDUK, IBNU ‘ABDIK, IBNU AMATIK, NAASHIYATII BIYADIK, MAADHIN FIYYA HUKMUK, ‘ADLUN FIYYA QODHOO-UK. AS-ALUKA BIKULLISMIN HUWA LAK, SAMMAYTA BIHI NAFSAK, AW ANZALTAHU FII KITAABIK, AW ‘ALLAMTAHU AHADAN MIN KHOLQIK, AWISTA’TSARTA BIHI FII ‘ILMIL GHOIBI ‘INDAK. AN TAJ’ALAL QUR’AANA ROBII’A QOLBII, WA NUURO SHODRII, WA JALAA-A HUZNII, WA DZAHAABA HAMMII.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku di tangan-Mu, keputusan-Mu berlaku padaku, ketentuan-Mu kepadaku pasti adil. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) yang telah Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu. Mohon jadikan Alquran sebagai penenteram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka, dan penghilang kesedihanku.[6]

#08

Doa untuk kesedihan yang mendalam

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ اْلأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمُ

LAA ILAAHA ILLALLOH AL-‘AZHIIM AL-HALIIM, LAA ILAAHA ILLALLOH ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM. LAA ILAAHA ILLALLOH, ROBBUS SAMAAWAATI WA ROBBUL ARDHI WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIIM.

Artinya: Tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah yang Maha Agung dan Maha Pengampun. Tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, Rabb yang menguasai ‘arsy, yang Maha Agung. Tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah – (Dia) Rabb yang menguasai langit, (Dia) Rabb yang menguasai bumi, dan (Dia) Rabb yang menguasai ‘arsy, lagi Mahamulia.[7]

#09

Doa agar tidak hilang nikmat, tidak berubah jadi sakit, dan dihindarkan dari musibah yang datang tiba-tiba

اللَّهُمَّ إِنِّيٍ أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MIN ZAWAALI NI’MATIK, WA TAHAWWULI ‘AAFIYATIK, WA FUJAA’ATI NIQMATIK, WA JAMII’I SAKHOTHIK.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.[8]

#10

Doa berlindung dari penyakit menular dan setiap penyakit jelek

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ اْلأَسْقَامِ

ALLOOHUMMA INNII ‘AUUDZU BIKA MINAL BAROSHI WAL JUNUUNI WAL JUDZAAMI WA MIN SAYYI-IL ASQOOM.

Artinya: Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, lepra, dan dari segala keburukan segala macam penyakit.[9]

#11

Doa ketika melihat orang lain tertimpa musibah (cukup dibaca sendiri, tidak didengar orang lain)

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلاً

ALHAMDULILLAAHILLADZII ‘AAFAANII MIMMAB TALAAKA BIHI, WA FADDHOLANII ‘ALA KATSIIRIN MIMMAN KHOLAQO TAFDHIILAA.

Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang menimpamu dan yang telah benar-benar memuliakanku dibandingkan makhluk lainnya.[10]

#12

Doa agar tidak mati mengerikan

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي وَالْهَدْمِ وَالْغَرَقِ وَالْحَرِيقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا

ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA MINAT TARODDI WAL HADMI WAL GHOROQI WAL HARIIQI, WA A’UUDZU BIKA AN-YATAKHOBBATHONISY SYAITHOONU ‘INDAL MAUTI, WA A’UDZU BIKA AN AMUUTA FII SABIILIKA MUDBIRON, WA A’UDZU BIKA AN AMUUTA LADIIGHO.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebinasaan (terjatuh), kehancuran (tertimpa sesuatu), tenggelam, kebakaran, dan aku berlindung kepada-Mu dari dirasuki setan pada saat mati, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan berpaling dari jalan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan tersengat.[11]

#13

Doa meminta kekuatan iman, langgengnya nikmat, dan dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لاَ يَرْتَدُّ، وَنَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ، وَمُرَافَقَةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى جَنَّةِ الْخُلْدِ

ALLOOHUMMA INNII AS-ALUKA IIMAANAN LAA YARTADDU, WA NA’IIMAN LAA YANFADU, WA MUROOFAQOTA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU ‘ALAYHI WA SALLAM FII A’LAA JANNATIL KHULDI.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu iman yang tidak akan lepas, nikmat yang tidak akan habis, dan menyertai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga yang paling tinggi selama-lamanya.[12]

#14

Doa agar terhindar dari cobaan yang berat, tidak bahagia, takdir yang jelek, dan kegembiraan musuh

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ البَلاَءِ ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ ، وَسُوءِ القَضَاءِ ، وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاء

ALLOOHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN JAHDIL BALAA-I, WA DAROKISY SYAQOO-I, WA SUU-IL QODHOO-I, WA SYAMAATATIL A’DAAI.

Artinya: Ya Allah aku meminta perlindugan kepada-Mu dari beratnya cobaan, kesengsaraan yang hebat, takdir yang jelek, dan kegembiraan musuh atas kekalahan.[13]

Baca Juga: Cara Shalat di Rumah Karena Wabah Corona

Dzikir yang Dibaca pada Waktu Tertentu

#15

Membaca ayat kursi agar mendapatkan perlindungan, dibaca satu kali setiap pagi dan petang

اَللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa pun dari ilmu Allah melainkan sesuai kehendak-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

#16

Membaca doa meminta keselamatan, dibaca satu kali setiap pagi dan petang


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ، اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِيْ وَآمِنْ رَوْعَاتِيْ. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

ALLOHUMMA INNII AS-ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AAFIYATA FID DUN-YAA WAL AAKHIROH. ALLOHUMMA INNII AS-ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AAFIYATA FII DIINII WA DUN-YAAYA WA AHLII WA MAALII. ALLOHUMAS-TUR ‘AWROOTII WA AAMIN ROW’AATII. ALLOHUMMAHFAZH-NII MIM BAYNI YADAYYA WA MIN KHOLFII WA ‘AN YAMIINII WA ‘AN SYIMAALII WA MIN FAWQII WA A’UUDZU BI ’AZHOMATIKA AN UGH-TAALA MIN TAHTII.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga, dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri, dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau tenggelam dalam bumi dan bencana lain yang membuat aku jatuh).[14]

#17

Membaca dzikir agar tidak datang mudarat, dibaca tiga kali setiap pagi dan petang

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِيْ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

BISMILLAAHILLADZII LAA YADHURRU MA’ASMIHI SYAI-UN FIL ARDHI WA LAA FIS SAMAA’I WA HUWAS SAMII’UL ’ALIIM.

Artinya: Dengan nama Allah – bila nama-Nya disebut maka segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya – Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca 3 x)

Faedah: Barang siapa yang mengucapkan dzikir tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada petang hari, tidak akan ada bahaya yang tiba-tiba memudaratkannya.[15]

#18

Meminta perlindungan dari kejelekan setiap makhluk, dibaca tiga kali pada waktu petang dan dibaca sekali ketika mampir suatu tempat

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

A’UUDZU BIKALIMAATILLAAHIT-TAAMMAATI MIN SYARRI MAA KHOLAQ.

Artinya: “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya.”[16]

#19

Membaca ayat kursi agar mendapat penjagaan Allah, dibaca sekali sebelum tidur

اَللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa pun dari ilmu Allah melainkan sesuai kehendak-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)[17]

#20

Membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah (ayat 285-286) agar diberi kecukupan, dibaca sekali sebelum tidur

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ * لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami, wahai Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.’ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang tak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)[18]

Footnote:

[1] QS. Al-Baqarah: 201

[3] HR. Ahmad, 4:181, dari Busr bin Arthah Al-Qurasyi.

[4] HR. Abu Daud, no. 5090; Ahmad, 5:42. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan karena mengingat adanya penguat.

[5]        HR. Tirmidzi, no. 3505. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih.

[6]       HR. Ahmad, 1:391 dan 1:452, dari ‘Abdullah.

[7]       HR. Muslim, no. 2730, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

[8]       HR. Muslim, no. 2739, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

[9]       HR. Abu Daud, no. 1554; Ahmad, 3: 192, dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih.

[10]     HR. Tirmidzi, no. 3431; Ibnu Majah, no. 3892. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[11]     HR. An-Nasa’i, no. 5531. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih.

[12]     HR. Ahmad, 1:400; Ibnu Hibban, 5:303. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih lighairihi (sahih dilihat dari jalur lain).

[13] HR. Al-Bukhari, no. 6347 dan Muslim, no. 2707

[14] HR. Abu Daud, no. 5074 dan Ibnu Majah, no. 3871. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih.

[15] HR. Abu Daud, no. 5088 dan 5089; Tirmidzi, no. 3388; dan Ibnu Majah, no. 3869. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

[16] HR. Ahmad, 2:290 tentang bacaan dzikir petang dibaca tiga kali; Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim. HR. Muslim, no. 2708 tentang bacaan ketika mampir di suatu tempat.

[17] Shahih At-Targhib, no. 610. Dalam hadits ini disebutkan siapa yang membaca ayat kursi sebelum tidur akan mendapatkan penjagaan dari Allah.

[18] HR. Bukhari, no. 4008 dan Muslim, no. 807.


Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 28 Rajab 1441 H

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/23644-20-doa-dan-dzikir-saat-wabah-corona-melanda.html

Sindrom Mabuk Beragama dalam Menyikapi Meroketnya Kasus Covid

Mabuk beragama dalam menyikapi covid di sini bentuknya adalah mengajak kaum muslimin untuk beribadah ke masjid, tetapi tidak memandang mudarat yang ditimbulkan di saat kasus covid-19 meningkat tajam saat ini. Coba renungkan!

Penyikapan Wabah di Masa Silam yang Keliru

Coba baca dulu kisah ini disebutkan kejadian nyata yang terjadi di masa Ibnu Hajar Al-Asqalani dan pada masa sebelum beliau, sama-sama dulu pernah terjadi wabah. Namun salah dalam penyikapan karena berbuat hal yang tidak diizinkan dalam agama.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm. 329), “Aku coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah. Awalnya baru jatuh korban meninggal di bawah empat puluh. Kemudian orang-orang pada keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk shalat istisqa’ (shalat minta hujan). Mereka semua berkumpul, mereka berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang jatuh korban pun terus bertambah.”

Di halaman sebelumnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Adapun kumpul-kumpul (untuk mengatasi wabah) sebagaimana dilakukan, maka seperti itu termasuk bidah. Hal ini pernah terjadi saat wabah ath-tha’un yang begitu dahsyat pada tahun 749 Hijriyah di Damaskus. Aku membacanya dalam Juz Al-Munbijy setelah ia mengingkari pada orang yang mengumpulkan khalayak ramai di suatu tempat. Di situ mereka berdoa, mereka berteriak keras. Ini terjadi pada tahun 764 H, ketika itu juga tersebar wabah ath-tha’un di Damaskus. Ada yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada tahun 749 H, di mana orang-orang keluar ke tanah lapang, masa jumlah banyak ketika itu keluar di negeri tersebut, lantas mereka beristighatsah (minta dihilangkan bala). Ternyata setelah itu wabah tadi makin menyebar dan makin jatuh banyak korban, padahal sebelumnya korban tidak begitu banyak.”

Sindrom “Mabuk Beragama” dalam Menyikapi Corona

Ustadz Fahmi Salim, Lc., M.A. (Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah) menjelaskan berikut ini.

Umat Islam saat menghadapi pandemi Covid-19 ternyata ada yang terkena sindrom “mabuk beragama”. Menganggap kesalehan ibadah hanya bisa diwujudkan dengan berjamaah di masjid dalam situasi apapun, baik itu bencana alam, perang, konflik, epidemi atau normal. Pakai kacamata kuda.

Padahal Imam Syafi’i saja sangat menghormati profesi dan otoritas dokter serta mengikuti hasil kajian medis dalam fatwa-fatwanya.

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan pentingnya ilmu kedokteran. Beliau berkata,

لاَ أَعْلَمُ عِلْمًا بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلُ مِنَ الطِّبِّ إِلاَّ أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita.” [Siyar A’lam An-Nubala, 8/528, Darul Hadits]

Imam Syafi’i juga menekankan bahwa di antara ilmu dunia, ilmu kedokteran salah satu yang paling penting. Beliau berkata,

إِنَّمَا العِلْمُ عِلْمَانِ: عِلْمُ الدِّيْنِ، وَعِلْمُ الدُّنْيَا، فَالعِلْمُ الَّذِي لِلدِّيْنِ هُوَ: الفِقْهُ، وَالعِلْمُ الَّذِي لِلدُّنْيَا هُوَ: الطِّبُّ

“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fiqh (fiqh akbar: aqidah, fiqh ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu kedokteran.” [Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]

Imam Syafi’i membuat ungkapan sebagai berikut:

لَا تَسْكُنَنَّ بَلَدًا لَا يَكُوْنُ فِيْهِ عَالِمٌ يُفْتِيكَ عَن دِينِك، وَلَا طَبِيبٌ يُنْبِئُكَ عَنْ أَمْرِ بَدَنِك

“Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.” [Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]

Kasihan sekali, banyak umat jadi tertinggal akibat sikap ulamanya yg hanya memandang sisi keutamaan ibadah tanpa memperhatikan aspek Sunnatullah dalam bidang medis. Kalau Imam Syafii hidup saat ini pasti beliau akan terlepas diri dari fatwa-fatwa ulama yg mabuk agama dan abai terhadap Sunnatullah.

Wallahu a’lam.

Sumber: mediamu.id, hajinews.id

Shalat Berjamaah dengan Menjaga Jarak Bukanlah Bid’ah dan Menyelisihi Manhaj

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun, jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau rahimahullah membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.” (Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17).

Memakai Masker Saat Shalat Berjamaah

Memakai masker saat shalat berjamaah saat pandemi covid-19 dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan).

Shalat Jumat Saat Kasus Covid Meningkat

Jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.

Kuatkan Diri dengan Doa dan Dzikir Saat Kasus Covid Meningkat

Jangan Mudah Menyebarkan Berita yang Tidak Jelas, Bukan dari Pakarnya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk melakukan kroscek terhadap berita dari orang fasik. Karena boleh jadi berita yang tersebar adalah berita dusta atau keliru.”

Hanya Allah beri taufik dan hidayah.

Ahad pagi, 23 Dzulqa’dah 1442 H

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/28661-sindrom-mabuk-beragama-dalam-menyikapi-meroketnya-kasus-covid.html

Ini Cerita Imam Adz-Dzahabi, Masjid di Masa Silam Pernah Tutup Karena Wabah

Ada sebagian DKM atau takmir masjid memasang spanduk di pintu masuk masjidnya:

“Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang melarang atau menghalangi, apalagi sampai mengusir orang untuk shalat di masjid kecuali setan, iblis, bukan manusia.”

Nasihat kami untuk para pengurus masjid, DKM, dan takmir:

Pertama:

Hujan deras saja termasuk uzur, boleh shalat di rumah. Padahal ke masjid tidak kena bahaya besar. Pergi ke masjid saat hujan paling hanya basah kuyup saja.

Kedua:

Sedangkan, keadaan saat ini jauh berbeda. Ini virus pak, bukan air hujan. Anda tidak terkapar virus covid di masjid, itu betul. Namun, pulang ke rumah jatuh sakit dan malah menyebarkan virus pada orang-orang rumah. Apa tidak kasihan, Pak?

Ketiga:

Tidak ada yang mengusir jamaah dari masjid, Pak. Ini hanya untuk menjaga keselamatan bersama.

Ingat, hadits ini njih …

لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Jangan dikumpulkan yang sakit dengan yang sehat.” (HR. Bukhari, no. 5771 dan Muslim, no. 2221)

Meninggalkan shalat berjamaah itu boleh selama ada uzur sebagaimana kata Imam Syafii rahimahullah:

وَ أَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Adapun shalat berjamaah, aku tidaklah memberikan keringanan untuk meninggalkannya kecuali jika ada uzur.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 107).

Keempat:

Umat Islam saat menghadapi pandemi Covid-19 ternyata ada yang terkena sindrom “mabuk beragama”. Menganggap kesalehan ibadah hanya bisa diwujudkan dengan berjamaah di masjid dalam situasi apapun, baik itu bencana alam, perang, konflik, epidemi atau normal. Pakai kacamata kuda.

Kelima:

Imam Adz-Dzahabi (hidup dari 673 – 748 H, sekitar 700 tahun silam) menyatakan masjid pernah ditutup di masa silam karena wabah

Imam Adz-Zahabi rahimahullah menceritakan yang terjadi pada tahun 448 H,

‎وكان القحط عظيما بمصر وبالأندلس وما عهد قحط ولا وباء مثله بقرطبة حتى بقيت المساجد مغلقة بلا مصل وسمي عام الجوع الكبير

“Dahulu terjadi musim paceklik besar-besaran di Mesir dan Andalus, kemudian terjadi juga paceklik dan WABAH di Qordoba sehingga MASJID-MASJID DITUTUP dan tidak ada orang yang shalat. Tahun itu dinamakan tahun kelaparan besar.” (Siyar A’lam An-Nubala, 18:311, Penerbit Muassasah Ar-Risalah)

Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

إنَّ اللَّبِيبَ إذَا بَدَا مِنْ جِسْمِهِ مَرَضَانِ مُخْتَلِفَانِ دَاوَى الْأَخْطَرَا

“Orang yang cerdas ketika terkena dua penyakit yang berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:54).

Kaidah yang bisa disimpulkan adalah,

ارْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Mengambil bahaya yang lebih ringan.”

Kaidah di atas diambil dari ayat dalam surah Al-Kahfi,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi: 79)

Ada dua mudarat di masa pandemi yang kasus covidnya semakin melonjak dahsyat, bahkan banyak jatuh korban jiwa saat ini:

  1. Meninggalkan shalat berjamaah karena memilih shalat di rumah saat wabah.
  2. Jika keluar masjid, bisa terkena wabah covid karena wabah ini begitu samar, bisa tersebar dari orang-orang tanpa gejala (OTG).

Manakah dua mudarat yang lebih ringan dari dua hal di atas? Kami memilih yang lebih ringan adalah meninggalkan shalat berjamaah dan memilih shalat di rumah. Karena menyelamatkan nyawa itu lebih penting dan kita masih bisa beribadah di rumah. Nah, itulah yang dulu dipraktikkan di masa silam seperti disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullah.

Lima catatan ini semoga cukup sebagai surat cinta kami kepada DKM, pengurus masjid, dan para takmir. Moga kita tidak kena sindrom “mabuk beragama”, alias ghuluw, yang berawal karena kurang memiliki ilmu yang mendalam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Muhammad Abduh Tuasikal 

Gunungkidul, 26 Dzulqa’dah 1442 H, 5 Juli 2021

Artikel Rumaysho.Com

Sumber https://rumaysho.com/28692-ini-cerita-imam-adz-dzahabi-masjid-di-masa-silam-pernah-tutup-karena-wabah.html

Terpikat Tauhid, Mualaf Aldilo: Islam Agama Masuk Akal

Mualaf Aldilo mendalami kalimat tauhid yang kerap dilantunkan dalam adzan

Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapa pun yang dikehendaki-Nya. Cahaya petunjuk Ilahi pun bisa datang melalui siapa saja, termasuk orang-orang terdekat. Itulah yang dialami Aldilo Wongso Jureh, beberapa waktu sebelum dirinya memeluk Islam. 

Lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, ini sejak kecil dididik dalam ajaran Kristiani. Begitu pula dengan keempat saudaranya. Di antara mereka, Dilo begitu dirinya akrab disapabisa disebut sebagai yang paling dekat dengan ibunda. 

Menurutnya, sang ibu selalu mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang taat beragama. Ia pun diarahkan untuk rutin beribadah. Tidak ada hari terlewatkan tanpa ditutup dengan doa, memohon kebaikan. 

Pria kelahiran 1998 melewati masa kecil hingga remaja sebagai anak yang baik-baik. Ia pun aktif di gereja dan memiliki banyak kawan. Baru lah, saat berusia 17 tahun, dirinya mulai mendapatkan perspektif berbeda tentang umat agama lain. Pada 2015, seorang saudaranya, Delfano Charies, membuka usaha biro perjalanan umroh dan haji. 

Fano, begitu sang kakak disapa, waktu itu masih sebagai non-Muslim. Pilihannya untuk menjalankan usaha travel tersebut murni atas dasar bisnis. Ya, cukup banyak profit dihasilkan dari biro perjalanan tersebut yang sesungguhnya bernilai ibadah dalam konteks Islam.  

Empat tahun kemudian, abangnya itu mengambil keputusan besar. Fano menyatakan diri telah memeluk Islam dan meninggalkan agama lamanya. Saat ditanya, kakak Dilo tersebut merasa tersentuh dengan kesungguhan hati jamaah haji dan umroh yang disaksikannya selama ini. 

Bahkan, bukan hanya Fano. Berturut-turut, satu per satu saudaranya yang lain ikut menjadi Muslim. Melihat keadaan itu, Dilo mulai tertarik untuk mengenal agama ini lebih dekat.

“Saya memeluk Islam tidak dipaksa mas-mas saya, walaupun mereka lebih dulu menjadi mualaf, katanya mengenang, seperti dilansir dari akun Youtube @delfanocharies,” baru-baru ini. 

Ia memang tidak mau sekadar ikut-ikutan kedua kakak laki-lakinya yang memeluk Islam. Menurutnya, agama adalah hal yang esensial dalam hidup. Tidak bisa dan tidak mungkin memilih beriman atas dasar bujukan, apalagi paksaan siapa pun. Sebab, setiap individu berhak untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing. 

Sebelumnya, Dilo telah mendengar berbagai rumor tentang Islam. Bahkan, Fano sendiri yang pernah mengutarakan berbagai stigma mengenai agama ini kepadanya. Akan tetapi, kini sang kakak sudah menyatakan diri masuk Islam. 

Ia pun terheran-heran, mengapa ada orang yang dahulunya sangat memusuhi Islam, sekarang justru memeluk agama ini. Masih teringat jelas di memorinya, Fano sering kali mencaci-maki suara adzan. Kumandang panggilan sholat itu memang rutin berkumandang dari masjid di dekat rumahnya, setidaknya lima kali dalam sehari.

Dilo pun mengobrol dengan kakaknya itu. Fano pun menuturkan bagaimana hatinya tersentuh dengan kesungguhan jamaah haji dan umroh saat hendak berangkat dan pulang dari Tanah Suci. Sang kakak pun mengungkapkan, kebenciannya terhadap adzan justru membuatnya bertanya-tanya tentang apa maksud dan tujuan suara tersebut. Setelah mempelajari isinya, Fano pun mulai mengenal konsep tauhid seperti tergambar dalam kalimat Laa ilaaha illa Allah.

Setelah diskusi itu, Dilo mulai mempertanyakan keyakinannya sendiri. Enam bulan sesudahnya, ia pun berhenti ke tempat ibadah. Bagaimanapun, kebiasaan berdoa tetap dilakukannya. Pada titik ini dirinya merasa perlu untuk menelaah ajaran agama yang dipeluknya saat itu dan Islam. 

Apa saja yang membedakan keduanya dan manakah yang paling diterima akal, pikiran, dan nuraninya. Dilo menangkap kesan, tidak mungkin Fano menerima Islam kalau agama ini bertentangan dengan logika. Sebab, kakaknya itu adalah seorang yang kritis dalam menilai sesuatu.

Dilo kemudian mulai mengkaji konsep tauhid dalam Islam. Ia menemukan, makna kalimat, Tidak ada Tuhan selain Allah, begitu logis. Konsep kenabian menurut agama ini juga dipelajarinya dari buku-buku dan video-video kajian di internet.

Pemuda ini pun memahami, ajaran Islam ternyata masuk akal. Bahkan, seperti ditunjukkan dalam banyak ayat dalam Alquran yang dibacanya melalui terjemahan, Tuhan pun berulang kali menyeru manusia agar menggunakan akal pikiran dalam menimbang-nimbang sesuatu.

Dilo merasa puas karena menemukan jawaban-jawaban yang logis tentang Islam. Kalau masih ada beberapa hal yang perlu di telusurinya, ia tidak hanya mencari solusinya seorang diri.  

Ia pun sering berdiskusi dengan kawan-kawannya yang Muslim. Setelah terpuaskan dengan jawaban yang didapatkan, Dilo mulai mempelajari kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan seorang penganut Islam.

Salah satunya adalah puasa. Pada Ramadhan 2020, ia bahkan mulai belajar berpuasa. Ini dilakukannya sembari menemani sang kakak yang juga baru pertama kali menjalani puasa Ramadhan.

Dilo mengatakan, waktu itu dirinya batal tiga kali. Dalam hari-hari itu, ia merasa tidak kuat menahan haus karena harus bekerja di kantor. Lagi pula, cuaca kota saat itu cukup terik dan panas.

“Ada cerita lucu sebenarnya, tapi juga tidak boleh ditiru. Waktu itu, aku bosan sahur dengan mi (instan) dan telur saja. Aku pun cari bahan makanan di kulkas, ternyata ada daging yang lalu aku makan,” katanya bercerita.

“Nah, setelah itu Mama tahu dan langsung marah-marah. Barulah aku tahu, itu sebenarnya daging babi. Tapi, tetapku lanjut puasanya karena saat itu belum bersyahadat. Pikirku, tidak masalah,” sambungnya. 

Sebelum Dilo bersyahadat, mamanya sebenarnya sudah menduga ia akan mengikuti jejak kedua kakaknya. Hanya saja, itu tidak dibahas terbuka. Dilo mengatakan, sang ibu sepertinya mengetahui ketertarikannya pada Islam dari kakak perempuannya. Akhirnya, pada suatu hari ibunya mengajak bicara dan memberikan nasihat. 

“Kalau kamu mau sholat, sholat yang benar. Kalau puasa, puasa yang benar. Yang penting, jadi orang baik,” kata Dilo menirukan perkataan ibundanya saat itu. Perkataan Mama diartikannya sebagai sinyal baik. Artinya, sang ibu membiarkannya untuk terus mempelajari Islam atau bahkan mengimani agama ini. 

Setelah itu, Dilo kembali mengutarakan keyakinannya untuk memeluk Islam. Namun kakaknya, Delfano, lebih dahulu menyarankannya untuk belajar sholat. Awalnya, Dilo ragu. Dari kelima shalat, Subuh menjadi yang paling merepotkan. Bangun pada waktu sebelum fajar bukanlah kebiasaanya sejak kecil. 

Bagaimanapun, ia akhirnya lulus dari ujian ini. Usai melaksanakan sholat Subuh pertamanya, ada perasaan haru dalam hatinya. Seluruh beban yang selama ini dirasakannya seperti terangkat. 

Delfano kemudian mengajak Dilo untuk bersyahadat pada hari itu juga. Namun, ia masih dilanda keraguan, apakah sanggup menjadi seorang Muslim.      

Kedua kakaknya kemudian meyakinkannya. Jika sudah ada niat untuk bersyahadat maka segerakanlah. Sebab, tidak ada yang tahu batas umur seseorang. Khawatirnya, ia tidak bersyahadat saat itu juga. 

Apalagi, meninggal dalam keadaan masih kafir. Tepat pada malam Idul Fitri 2020 M, Dilo bersama kedua kakaknya mendatangi markas komunitas Cah Hijrah di Semarang. Disaksikan seorang ustadz dan kakak-kakaknya, Dilo pun mengucapkan dua kalimat persaksian. Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasululllah. 

Setelah mendapatkan beberapa bimbingan dan pertanyaan, Dilo pulang dan mendapatkan bingkisan seperangkat alat sholat serta buku Iqra untuk belajar mengaji. Usai bersyahadat, Dilo dinasihati untuk selalu menjalankan sholat lima waktu dan tidak boleh menunda atau sengaja tidak melaksanakannya.

Dilo harus ingat dengan syahadat yang telah dilakukannya di hari itu. Ikrar yang diucapkannya adalah janji untuk terus berupaya menaati perintah-Nya. Benar saja, bagi Dilo, azan adalah waktu yang selalu dinanti-nanti karena ia bisa melaksanakan sholat fardhu. Tak hanya sholat fardhu, Ramadhan juga adalah waktu yang sangat dirindukannya, sebuah momen istimewa untuk terus menguatkan imannya. 

“Ramadhan tahun ini adalah puasa pertama aku setelah bersyahadat selain itu, Ramadhan tahun ini juga pertama kali aku bisa sholat Tarawih di masjid,” ujarnya. Jika di Ramadhan sebelumnya dia masih pada taraf belajar dan lagi belum berstatus Muslim. Tahun ini, keadaannya berbeda. Sebagai seorang Muslim, dirinya merasa termotivasi untuk bisa tuntas berpuasa satu bulan penuh. 

Sholat Tarawih juga menjadi shalat pertama bagi dia. Dalam pandangannya, Ramadhan menjadi bulan yang sangat berharga. Ramadhan adalah bulan untuk belajar di 11 bulan ke depan. “Biasanya, kita bisa berpuasa Ramadhan selama satu bulan, tentu selama 11 bulan ke depan puasa sunah yang dua hari sepekan atau puasa Nabi Daud yang berseling akan terasa lebih mudah,” ucapnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hal-Hal yang Membatalkan Sholat

Sholat menjadi batal apabila salah satu dari beberapa perkara dilanggar dalam mengerjakannya. Imam Syafii merangkum sejumlah perkara yang membatalkan shalat.

Dalam kitab Fikih Manhaji, Imam Syafii menyebutkan sejumlah perkara tersebut. Pertama, bicara dengan sengaja. Yakni berbicara perkataan selain ayat Alquran, dzikir, dan doa. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Zaid bin Arqam berujar, “Dulu kami bicara sesama kami tentang sesuatu, hingga turunlah sebuah ayat,”.

Ayat yang dimaksud adalah Alquran Surah Al-Baqarah ayat 238, Allah SWT berfirman: “Haafizhuu alasshalawati washalawati al-wustha wa qumuu lillahi qaanithina,”. Yang artinya: “Peliharalah semua sholat dan sholat wustha. Dan laksanakanlah shalat karena Allah dengan khusyuk,”. Atas turunnya ayat tersebut, kedua sahabat Nabi itu pun diperintahkan untuk diam (tak berbicara) tatkala menunaikan sholat.

Kedua, banyak gerak. Yakni banyak gerak di luar gerakan shalat. Syaratnya yaitu banyak dan sering. Hal demikian dilarang karena tidak sesuai dengan aturan sholat. Batasan banyak di sini adalah tiga gerakan atau lebih yang sering dinilai dari kebiasaan. Jika demikian, maka sholat menjadi batal.

Ketiga, pakaian atau badan terkena najis. Terkena najis maksudnya najis mengenai salah satu bagian pakaian atau badan dan tidak langsung dibuang. Sholat menjadi batal karena najis merupakan hadas karena salah satu syarat sah sholat adalah bersih pakaian dan badan dari najis. Jika pakaian atau badan terkena aroma najis atau hal lain yang dapat langsung dibuang, maka sholatnya tidak batal.

Keempat, tersingkapnya bagian aurat. Jika secara sengaja seseorang menyingkap auratnya, maka sholatnya batal secara mutlak. Seseorang yang sudah tahu batasan aurat baik itu laki-laki maupin perempuan dalam sholat, maka wajib hukumnya untuk memperhatikan batasan aurat itu saat mengerjakan sholat.

Namun jika aurat tersingkap tidak dengan sengaja, maka hendaknya dia segera menutupnya begitu menyadari hal demikian. Jika ini yang terjadi, maka shalatnya tidak batal. Sebaliknya, jika tidak cepat-cepat ditutup, maka shalat menjadi batal karena salah satu syarat sah sholat telah dilanggar.

Kelima, makan atau minum. Makan atau minum bertolak belakang dengan gerakan dan aturan sholat. Bagi yang disengaja, makanan atau minuman sedikit apapun dapat membatalkan sholat. Tapi bagi yang tidak disengaja, maka syaratnya adalah banyak menurut kebiasaan.

Banyak ahli fikih yang menetapkan bahwa batasannya adalah bila dikumpulkan sebesar biji kacang. Jika disela-sela gigi terdapat sisa-sisa makanan tapi tidak sampai sebanyak itu, lalu tertelan bersama ludah, maka sholat tidak batal. Termasuk batal apabila terdapat satu butir gula di mulut yang meleleh dan tertelan.

Keenam, berhadas sebelum salam yang pertama. Tidak dibedakan apakah hadas terjadi dengan sengaja atau lupa. Sholat batal karena salah satu syarat sahnya hilang sebelum semua rukuknya dilaksanakan sempurna. Syarat sah yang hilang itu adalah suci dari hadas. Namun jika hadas terjadi setelah salam yang pertama dan sebelum salam kedua, shalat sudah sah menurut ijma ulama.

Ketujuh,  terisak, tertawa, dan menangis (jika terucap dua huruf). Keempat hal ini dapat membatalkan sholat jika sampai menyebabkan terucapnya dua huruf, walaupun tidak ada artinya. Namun jika kurang dari dua huruf, maka sholatnya tidaklah batal.

Kedelapan, niat berubah. Batasannya adalah niat untuk menghentikan shalat atau mensyaratkan terjadinya sesuatu untuk itu. Kesembilan, membelakangi kiblat. Yakni sholat menjadi batal apabila membelakangi kiblat baik yang disengaja atau dipalingkan orang lain.

IHRAM

Makna dan Kedudukan Sunnah Nabi

Bukanlah yang dimaksud di sini sunnah dalam ilmu fikih, yaitu perbuatan yang mendapat pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Akan tetapi, sunnah adalah apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang batin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat.

Secara bahasa, sunnah artinya as-sirah (perjalanan) hidup atau thariqah (cara hidup). Dalam Lisaanul ‘Arab disebutkan,

والسُّنَّة السيرة، حسنة كانت أَو قبيحة

As-Sunnah artinya as-sirah (perjalanan hidup), baik yang bagus maupun yang jelek.”

Dijelaskan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitab Irsyadhul Fuhul,

أما لغة : فهي الطريقة المسلوكة ، وأصلها من قولهم : سننت الشيء بالمسن إذا أمررته عليه ، حتى يؤثر فيه سنا أي طريقا . وقال الكسائي : معناها الدوام ، فقولنا : سنة معناه الأمر بالإدامة من قولهم : سننت الماء إذا واليت في صبه . قال الخطابي : أصلها الطريقة المحمودة ، فإذا أطلقت انصرفت إليها ، وقد يستعمل في غيرها مقيدة ، كقوله : من سن سنة سيئة . وقيل : هي الطريقة المعتادة ، سواء كانت حسنة أو سيئة

Sunnah secara bahasa artinya cara hidup. Jika orang Arab mengatakan ‘sanantu asy-syai’a bil-masni’,  maknanya adalah ‘aku menjalaninya hingga tua’. ‘Hatta yuatsira fihi sunnan’, maknanya adalah ‘hingga (perjalanan hidup) itu membuahkan sebuah cara hidup’.

Al Kisa’i mengatakan, ‘Sunnah makanya ad-dawaam (kontinu). Maka makna as-sunnah adalah sesuatu yang dilakukan secara kontinu. Sebagaimana perkataan ‘sunantul ma’a’, yang artinya ‘aku secara kontinu memercikkan air’.

Al-Khathabi mengatakan, ‘as-sunnah artinya cara hidup yang baik. Jika disebutkan secara muthlaq (bersendirian), maka maknanya demikian. Dan terkadang digunakan secara muqayyad (digandengkan) semisal dalam hadis ‘man sanna sunnatan sayyiatan’. Dan sebagian ahli bahasa mengatakan maknanya adalah cara hidup yang sudah jadi kebiasaan, baik itu bagus ataupun buruk.’” [1]

Sedangkan makna sunnah dalam istilah syar’i, adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan,

وأما معناها شرعا : أي في اصطلاح أهل الشرع ، فهي : قول النبي صلى الله عليه وآله وسلم وفعله وتقريره ، وتطلق بالمعنى العام على الواجب وغيره في عرف أهل اللغة والحديث ، وأما في عرف أهل الفقه فإنما يطلقونها على ما ليس بواجب ، وتطلق على ما يقابل البدعة كقولهم : فلان من أهل السنة .

Adapun makna as-sunnah secara syar’i, yaitu dalam istilah para ulama, artinya adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan dimaknai dengan makna umum, baik itu perkara yang wajib atau yang selainnya, menurut ahli bahasa dan ahli hadis. Adapun dalam kebiasaan ahli fikih, yang dimaksud dengan as-sunnah adalah semua ibadah yang tidak wajib. Dan terkadang juga, maksud as-sunnah adalah lawan dari bid’ah, sebagaimana dalam perkataan ulama: Fulan adalah ahlussunnah.” [2]

Maka sunnah yang kami maksudkan di sini adalah sunnah dalam makna perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan sunnah dalam definisi ulama fikih, yaitu segala ibadah yang tidak wajib. Dan masalah yang akan kita bahas ini, adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena ia diperintahkan oleh Nabi, dilakukan oleh Nabi, dan juga disetujui oleh Nabi.

Dari ini kita pahami bahwa sunnah adalah teladan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka di dalamnya tercakup perkara wajib, perkara mustahab (dianjurkan), dan juga terkadang berupa perkara mubah. Oleh karena itu, tidak benar sangkaan sebagian orang yang beranggapan bahwa Al-Qur’an itu yang wajib dan As-Sunnah itu yang mustahab.

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Banyak orang yang menyangka bahwa yang terdapat dalam Al-Qur’an itulah yang wajib, sedangkan yang ada dalam As-Sunnah yang suci itu adalah yang mustahab (dianjurkan) yang diberi pahala jika melakukannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya. Pemahaman keliru ini masuk ke tengah masyarakat karena semrawutnya pengertian mengenai makna As-Sunnah, padahal mereka tahu wajibnya menaati perintah Rasul.” [3]

Kedudukan Sunnah Nabi

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang agung dalam Islam karena ia adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Maka wajib untuk memuliakan sunnah Nabi secara umum, mengamalkannya, menaatinya, dan menjadikannya cara beragama serta cara hidup. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, di antaranya:

Dalil-Dalil dari Al-Qur’an

Dalil-dalil dari Al Qur’an tentang wajibnya mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

  1. Perintah Allah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”” (QS. Al Imran: 32).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini adalah perintah dari Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya dengan bentuk perintah yang umum, yaitu agar mereka menaati Allah dan menaati Rasul-Nya. Perintah ini mencakup taat dalam masalah iman dan tauhid, dan juga perkara-perkara turunan dari keduanya, baik berupa amalan, perkataan, lahiriah maupun batiniah. Bahkan juga mencakup menjauhi apa yang Allah dan Rasul-Nya larang. Karena menjauhi apa yang dilarang juga termasuk menaati perintah Allah.” [4]

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [5]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam, maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya.” [6]

  1. Adanya ancaman bagi orang yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Di antaranya firman Allah Ta’ala,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” [7]

Ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang orang yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah mensyari’atkan bahwa ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik rahimahullah pun berkata, “Ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir orang itu akan tertimpa fitnah di dunia dan azab yang pedih sebagaimana dalam ayat … (beliau menyebutkan ayat di atas).” [8]

Ketika menjelaskan perkataan Imam Malik rahimahullah ini, Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Fitnah yang dimaksud Imam Malik rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini berhubungan dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena mengedepankan akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah sebagai petunjuk bagi mereka.” [9]

  1. Tercelanya memiliki pilihan lain ketika dalam suatu permasalahan yang sudah ada sunnah Nabi

Di antaranya firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [10]

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak layak bagi seorang mukmin dan mukminah, jika Allah sudah menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya, janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan Rasul-Nya.” [11]

  1. Adanya perintah untuk mengembalikan keputusan kepada Rasulullah ketika ada perselisihan

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [12]

  1. Rujuk kepada keputusan Rasulullah ketika ada perselisihan dijadikan sebagai barometer iman

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [13]

  1. Ditetapkannya Rasulullah sebagai teladan yang sempurna dalam ibadah dan muamalah

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung.” [14]

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [15]

Dalil-Dalil Hadis

Dalil-dalil dari hadits tentang wajibnya berpegang pada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [16]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” [17]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Apa yang aku larang hendaknya kalian jauhi, dan apa yang aku perintahkan maka hendaknya kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka banyak bertanya dan karena mereka menyelisihi ajaran nabi-nabi mereka.” [18]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ألا إنِّي أوتيتُ الكتابَ ومثلَهُ معَهُ ، ألا يوشِكُ رجلٌ ينثَني شبعانَ على أريكتِهِ يقولُ : عليكمُ القُرآنَ ، فما وجدتُمْ فيهِ من حلالٍ فأحلُّوهُ وما وجدتُمْ فيهِ من حرامٍ فحرِّموهُ

Ketahuilah bahwa aku diberikan Al-Qur’an dan sesuatu yang semisalnya (As-Sunnah) untuk membersamainya. Ketahuilah, akan ada orang yang bersandar dalam keadaan kekenyangan di atas dipannya, lalu ia berkata: “Hendaknya kalian berpegang pada Al-Qur’an, yang kalian dapati halal di dalamnya maka halalkanlah, yang kalian dapati haram di dalamnya maka haramkanlah.”” [19]

Perkataan para Ulama

Para ulama ahlussunnah sejak dahulu hingga sekarang memotivasi umat ini untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak mencukupkan diri dengan Al-Qur’an, bahkan mereka menjadikan sunnah Nabi sebagai sumber hukum dan juga pedoman dalam beragama dan pedoman dalam menjalani kehidupan. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

لم أسمع أحدًا – نسبه الناس أو نسب نفسه إلى علم – يخالف في أن فرض الله عز وجل اتباعُ أمر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، والتسليم لحكمه؛ بأن الله عز وجل لم يجعل لأحد بعده إلا اتباعه، وأنه لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله – صلى الله عليه وسلم -، وأن ما سواهما تبع لهما

Tidak pernah aku mendengar orang yang disebut ulama atau yang menisbatkan diri sebagai ulama, yang menentang bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan kita ittiba’ (mengikuti) perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menerima segala hukum dari beliau. Dan Allah Ta’ala tidak memberikan kelonggaran untuk siapapun kecuali mereka harus mengikuti Rasulullah. Dan tidak ada perkataan yang wajib ditaati kecuali Kitabullah atau sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang selainnya hanya mengikuti dua hal tersebut.” [20]

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan,

ليس من أحد إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم

Tidak ada satu orang pun kecuali perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (maka wajib diambil dan tidak boleh ditinggalkan).” [21]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan,

لا تقلدني ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

Jangan kalian taqlid buta kepadaku! Jangan pula kepada Malik atau Asy-Syafi’i atau Al-Auza’i atau Ats-Tsauri! Namun, ambillah kebenaran yang sesuai dengan sumber pendapat mereka (yaitu sunnah Nabi).” [22]

Imam Ahmad rahimahullah juga mengatakan,

من ردَّ حديث رسول الله فهو على شفا هلكة

Siapa yang menolak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia berada dalam jurang kebinasaan.” [23]

Abu Hamzah Al-Bazzar rahimahullah mengatakan,

من علم طريق الحق سهل عليه سلوكه، ولا دليل على الطريق إلى الله إلا متابعة الرسول صلى الله عليه وسلم في أحواله وأقواله وأفعاله

Barangsiapa yang mengetahui jalan kebenaran, maka perjalanannya akan mudah. Dan tidak ada petunjuk menuju jalan Allah kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam kehidupan beliau, perkataan beliau, dan perbuatan beliau.” [24]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

الْعِبَادَاتُ مَبْنَاهَا عَلَى الشَّرْعِ وَالِاتِّبَاعِ لَا عَلَى الْهَوَى وَالِابْتِدَاعِ فَإِنَّ الْإِسْلَامَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَصْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ. وَالثَّانِي: أَنْ نَعْبُدَهُ بِمَا شَرَعَهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَعْبُدَهُ بِالْأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ

Ibadah itu landasannya adalah syariat dan mengikuti sunnah Nabi, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena Islam itu dibangun di atas dua landasan. Pertama, kita menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya. Yang kedua, kita menyembah Allah dengan apa yang Allah syariatkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita tidak menyembah Allah dengan hawa nafsu dan bid’ah.” [25]

Semoga penjelasan ringkas ini dapat memotivasi kita untuk terus mempelajari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengamalkan dan berpegang teguh dengannya. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/67160-makna-dan-kedudukan-sunnah-nabi.html