BANGSA Indonesia kembali memperigati Hari Guru Nasional (HGN), tepatnya tanggal 25 November. Pada peringatan hari guru ini penulis menyampaikan pesan untuk guru di hari guru. Harapannya, pesan ini dapat menjadi tambahan energi bagi guru dalam menjalankan profesinya.
Dahulu, orang tua yang hendak menyerahkan anaknya ke guru ngaji, tidak ingin begitu saja pasrah terhadap pendidikan anaknya. Seperti yang terjadi dan dicontohkan oleh Utbah bin Abu Sufyan.
Utbah berpesan kepada pendidik anaknya sejumlah pesan bijak. Utbah bin Abi Sufyan mengatakan, “Hal pertama yang mesti engkau lakukan (sebelum mendidik anak-anakku) adalah perbaiki dulu dirimu, karena mata mereka tertuju padamu, yang baik menurut mereka adalah apa yang engkau anggap baik, dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang engkau anggap buruk. Ceritakan pada mereka kisah orang-orang bijak. Maksimalkan usahamu untuk mendidik mereka niscaya aku tambahkan kebaikanku untukmu.”
Kisah di atas memberikan pesan yang berharga bagi guru. Hal itu menunjukkan strategisnya peran dan pengaruh guru terhadap pendidikan anak. Karenanya sebelum membentuk karakter anak didik, guru mesti berkarakter terlebih dahulu.
Guru merupakan profesi paling mulia. Saking mulianya kedudukan guru, Ahmad Syauki, seorang penyair Mesir, pernah menyatakan bahwa guru itu hampir seperti seorang rasul.
Mungkin itu terlalu berlebihan. Tapi pada dasarnya antara rasul dan guru memiliki tugas dan peranan yang sama, yaitu mendidik, mengajar, dan membina umat.
Dalam surah Ali Imran [3] ayat 164 Allah SWT menegaskan tugas para rasul. Setidaknya ada tiga tugas pokok seorang rasul yang bisa dijadikan pegangan oleh guru, yaitu membacakan ayat-ayat Allah (at-tilawah); membersihkan jiwa (at-tazkiyah); dan mengajarkan Al-Quran dan sunah (al-hikmah).
Selain itu, menjadi guru berarti memiliki peluang besar mendapatkan amalan yang terus mengalir, yaitu dengan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada siswa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda;
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh.” (HR:Muslim no. 1631)
Menurut Syekh Jamal Abdul Rahman, jika guru mampu mendidik siswa menjadi saleh maka hal itu akan masuk ke dalam ketiga kategori amal yang tidak akan putus pahalanya. Maksudnya, waktu dan tenaga yang disisihkan guru untuk mendidik siswa bisa menjadi sedekah jariyah.
Ilmu yang sampaikan kepada siswa akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Dan, siswa yang dididik guru akan menjadi anak yang shaleh, yang akan mendoakan dirinya, baik ketika guru masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Berikut pesan untuk para pendidik dan guru di Hari Guru Nasional ini:
Sarana Ibadah
Manusia diciptakan untuk ibadah (QS adz-Dzariyah [51]: 56). Semua aktifitas yang dilakukan dalam rangka beribadah kepada-Nya, termasuk aktifitas mengajar (QS al-An’am [6]: 162-16). Karena mengajar adalah ibadah yang pahalanya akan terus mengalir, maka dalam menjalankan aktifitas mengajar selain hanya karena Allah semata, harus sesuai dengan apa yang diteladankan oleh Nabi ﷺ.
Pertama, mengucapkan salam
Ketika guru hendak masuk kelas mengucapkan salam kepada siswa, assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh (semoga seluruh keselamatan, rahmat dan berkah Allah dilimpahkan kepada kalian). Dan, Nabi ﷺ sangat menekankan kepada kita (guru) untuk menyebarkan salam (HR Ibnu Majah).
Dalam majelis ilmu, Nabi ﷺ mengajarkan agar mengucapkan salam di awal dan di akhir majelis. “Jika salah seorang di antara kalian mengakhiri suatu majelis, ucapkanlah salam. Jika ingin memulainya (suatu majelis tanpa salam), maka mulailah. Jika ingin berdiri (mengakhirinya), ucapkanlah salam. Tindakan pertama tidaklah lebih benar dibanding dengan tindakan terakhir.” (HR Tirmidzi dan Abu Daud).
Kedua, berwajah ceria
Guru hendaknya menunjukkan wajah ceria setiap kali bertemu siswa, sebagaimana diajarkan oleh Nabi ﷺ;
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قَالَ: لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Artinya: Dari Abu Dzar dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Janganlah kamu menganggap remeh sedikitpun terhadap kebaikan, walaupun kamu hanya bermanis muka kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu.” (HR: Muslim)
Ketiga, membaca pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi
Setiap kali guru memulai pelajaran hendaknya diawali dengan membaca pujian dan shalawat. Misalnya, ’Alhamdulillahirabbil ’alamin, washshalatu wassalamu ’ala Muhammadin, wa’ala alihi washahbihi ajma’in’.
Terkait hal ini, Nabi ﷺ bersabda;
كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله فهو أقطع (أخرجه ابن حبان)
“Setiap perkara yang mempunyai nilai baik, jika tidak dimulai dengan menyebut asma Allah, maka perkara itu akan terputus (tidak membawa berkah).” (HR: Ibnu Hibban)
Keempat, jika guru hendak menulis di papan tulis, buatlah tulisan basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) terlebih dahulu, agar kalimat itu yang pertama kali dilihat oleh siswa. Dengan demikian, siswa mengetahui bahwa setiap akan memulai aktivitas harus dimulai dengan membaca basmalah.
Dengan mengucapkan basmalah guru menyadari akan kekuatan dan pertolongan-Nya dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Nabi ﷺ bersabda,
كل أمر ذي بال لا يبدأ بـ : بسم الله ، فهو أجذم
“Setiap perkara penting menurut syariat yang tidak dimulai dengan bismillah adalah perkara yang tidak diberkahi.” (HR: Abu Dawud)
Kelima, setelah selesai pelajaran dan sebelum berpisah dengan siswa, hendaknya proses belajar mengajar ditutup dengan membaca hamdalah (Alhamdulillah) bersama-sama, lalu dilanjutkan membaca doa kafaratul majelis.
وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( مَنْ جَلَسَ في مَجْلِسٍ ، فَكَثُرَ فِيهِ لَغَطُهُ فَقَالَ قَبْلَ أنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ : سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ في مَجْلِسِهِ ذَلِكَ )) رواه الترمذي ، وقال : (( حديث حسن صحيح )) .
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang duduk di suatu majelis lalu banyak senda guraunya (kalimat yang tidak bermanfaat untuk akhiranya), maka hendaklah ia mengucapkan sebelum bangun dari majelisnya itu, ‘SUBHAANAKALLOHUMMA WA BIHAMDIKA, ASY-HADU ALLA ILAHA ILLA ANTA, AS-TAGH-FIRUKA WA ATUUBU ILAIK’ (Mahasuci Engkau, wahai Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau. Aku meminta ampun kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu); kecuali diampuni baginya dosa-dosa selama di majelisnya itu.” (HR: Tirmidzi, no. 3433).
Keenam, mengucapkan salam kepada siswa setiap hendak meninggalkan kelas.
Sehingga dengan doa keselamatan, rahmat dan keberkahan ini yang akan mengiringi setiap kali pertemuan dan perpisahan dalam proses belajar mengajar.
Pentingnya Doa
Sebagai manusia, guru hanya mampu berusaha. Selebihnya, keputusan akhir tentang hasil usaha dalam proses pendidikan itu –siswa menjadi sukses, cerdas dan saleh– bergantung kepada Allah SWT. Sikap terlalu yakin dengan kemampuan diri hingga mengabaikan-Nya akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa dan keberkahan.
Mendidik adalah soal menyentuh hati. Sedangkan pengendali dan yang membolak balikkan hati, hanya Allah semata.
Sesungguhnya hal mudah bagi Allah menjadikan seseorang (siswa) sukses, cerdas dan shaleh. Maka itu, guru harus selalu dekat dengan-Nya, dan mendekatkan siswa kepada-Nya, salah satunya melalui kekuatan doa.
Doa termasuk hal penting yang harus selalu dipegang teguh. Melalui doa, rasa cinta dan kasih sayang kepada siswa akan bertambah mekar dalam hati. Untuk itu, hendaklah guru senantiasa memohon kepada-Nya agar Dia meluruskan (hati) siswanya.
Guru sebagai orang tua bagi siswa. Karenanya, Nabi ﷺ melarang kepada orang tua (guru) mendoakan keburukan bagi siswa. Mendoakan keburukan merupakan hal berbahaya, dapat mengakibatkan kehancuran siswa dan masa depannya (HR Abu Dawud).
Guru sebagai arsitek peradaban, jika ia salah dalam mendidik, berarti telah salah dalam membentuk peradaban. Ingat, tanggung jawab guru tidak sebatas di dunia, juga di akhirat kelak. Karena itu, guru harus selalu mendoakan untuk kesuksesan, kecerdasan, dan kesalehan siswa pada setiap waktu.
Dengan pesan ini, semoga Allah membimbing para guru agar dapat mendidik siswa menjadi insan yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual, sekaligus sebagai amal saleh yang pahalanya akan terus mengalir meski guru telah tiada. Amin.*/ H. Imam Nur Suharno, penulis Buku Muhammad SAW The Great Educator, Kepala Divisi HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat
HIDAYATULLAH