Meneladan Tauhid Ibrahim AS

Di antara keteladanan Nabi Ibrahim yang patut kita aplikasikan adalah keteguhan akidah dan kemurnian tauhid.

Nabi Ibrahim AS merupakan sosok nabi teladan bagi umat manusia (QS al-Mumtahanah [60] ayat 4 dan 6). Satu di antara keteladanan yang patut kita aplikasikan adalah keteguhan akidah dan kemurnian tauhid yang dimilikinya.

Setidaknya ada empat hal yang patut kita contoh dari kisah Nabi Ibrahim AS mengenai pendidikan tauhid. Pertama, teguh mempertahankan akidah. Nabi Ibrahim berjuang meyakinkan kaumnya, termasuk ayah dan penguasa pada eranya, Raja Namrud, untuk bertauhid hanya menyembah Allah SWT. Perjuangan itu mendapatkan tantangan keras.

Ayahnya mengancam akan merajam lalu mengusirnya (QS al-An’am, 6: 46). Sementara itu, Namrud menghukum Nabi Ibrahim dengan membakarnya hidup-hidup (QS al-Anbiyah’ [21]: 69).

Tantangan itu tidak membuatnya berhenti, apalagi lari. Nabi Ibrahim tetap istiqamah dengan akidah yang mantap. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa sebesar apa pun tantangan yang mengadang, akidah tak boleh goyah. Dakwah harus tetap diperjuangkan walau nyawa jadi taruhan.

Kedua, tauhid berimplikasi pada ketaatan secara total. Nabi Ibrahim sangat menyayangi putranya, Ismail, yang bertahun-tahun didambakan kelahirannya. Namun, Allah SWT memerintahkannya untuk mengorbankan Ismail dengan menyembelihnya (Qs as-Saffat [37]: 102).

Perintah itu ditaati Nabi Ibrahim tanpa pertanyaan, apa lagi penolakan dengan alasan irasional. Itulah sikap orang yang bertauhid, menaati perintah Allah SWT meskipun dalam keadaan sulit.

Ketiga, tauhid berimplikasi pada ibadah ritual. Nabi Ibrahim memiliki akidah yang lurus, tauhid yang murni, hanya mengesakan Allah tanpa sekutu apa pun. Ia pun diperintahkan mendirikan rumah Allah (Ka’bah) dan membersihkannya dari kemusyrikan (QS al-Hajj [22]: 26) serta mendirikan shalat dengan rukuk dan sujud.

Maka, umat Nabi Muhammad yang bertauhid senantiasa melaksanakan ibadah ritual, terutama shalat dan memakmurkan masjid. Termasuk perintah ibadah haji yang beribadah di Masjidil Haram. Sejatinya, ketika kembali ke Tanah Air, mereka menjadi haji mabrur yang di antara indikatornya adalah mereka mencintai dan memakmurkan masjid.

Keempat, tauhid berimplikasi pada kepedulian dan kebaikan terhadap sesama manusia dan alam. Tauhid yang benar adalah mengesakan Allah SWT tanpa mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Hanya Allah SWT semata yang menciptakan dan memelihara alam semesta.

Sayid Muhammad Baqir al-Majlisi dalam kitab Hayat al-Qulub menulis: “Allah Yang Mahakuasa menunjuk Ibrahim sebagai sahabat-Nya (khalilullah) karena ia tidak manampik permintaan siapa pun dan ia sendiri tidak pernah meminta kepada siapa pun kecuali Allah.”

Tampak jelas wujud karakter manusia bertauhid ialah senang memberi pertolongan kepada makhluk, tapi ia hanya meminta pertolongan pada Sang Khalik.

Wallahu a’lam.

OLEH DR MUHAMMAD KOSIM

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Badal Haji Menurut Ulama 4 Madzhab

Berikut ini penjelasan hukum badal haji menurut ulama 4 Madzhab. Perbedaan pendapat adalah rahmat, selagi tidak menyinggung masalah pokok (ushul) dalam agama dan hanya berkutat dalam masalah cabang (furu’). Mungkin hal tersebut juga yang terjadi dalam masalah “badal” atau pengganti/wakil haji.

Hukum Badal Haji Menurut Ulama 4 Madzhab

Berikut penulis hadirkan pendapat ulama 4 madzhab terkait permasalahan badal haji.

Pertama, Madzhab Malikiyah

Malikiyah berpendapat bahwa ibadah haji termasuk dari ibadah yang tidak menerima untuk diganti (wakilkan). Ketika seseorang memiliki kewajiban haji maka ia tidak boleh mewakilkannya kepada orang lain, meski dalam keadaan sakit sekalipun.

Dan jika ia menyewa seseorang untuk mewakilinya menjalankan ibadah haji, maka haji tersebut akan dianggap menjadi bagian wakilnya sebagai haji sunnah, sedang ia yang mewakilkannya mendapatkan pahala membantu melaksanakan ibadah haji.

Dalil Boleh Badal Haji

Sebagaimana Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya “Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah Juz 1  hal 634 berkata:

المالكية قالوا: الحج وإن كان عبادة مركبة من بدنية ومالية, لكنه غلب فيه جانب البدنية فلا يقبل النيابة, فمن كان عليه حجة الاسلام وهي حجة الفريضة فلا يجوز له أن ينيب من يحج عنه, سواء كان صحيحا او مريضا ترجى صحته.

Malikiyah berpendapat: Haji, meski merupakan ibadah yang tersusun dari ibadah badaniyah (badan) dan maliyah (harta), akan tetapi di dalamnya lebih condong pada ibadah badaniyah. Oleh karenanya ibadah Haji tidak dapat/boleh badal (wakilkan)  pada orang lain. 

Orang yang memiliki kewajiban Haji, tidak boleh baginya untuk mewakilkannya kepada orang lain, baik itu ia sehat, maupun sakit yang masih diharapkan sembuh.

Lebih lanjut Syekh al-Jaziri berkata:

ومن عجزعن الحج بنفسه, ولم يقدر عليه في أي عام من حياته, فقد سقط عنه الحج بتاتا, ولا يلزم استئجار من يحج عنه إذا كان قادرا على دفغ الأجرة. وإذا استأجر الشخص من يحج عنه سواء كان صحيحا أو مريضا وسواء كان الحج الذي استأجر عليه فرضا أو نفلا فلا يكتب له أصلا, بل يقع الحج نفلا للأجير وإنما يكون للمستأجير ثواب مساعدة الأجير على الحج وبركة الدعاء الذي يدعو به..

Orang yang tidak mampu untuk melaksanakan Haji dengan sendirinya, dan ia tidak mampu melaksanakannya di tahun-tahun kehidupannya, maka telah gugur kewajiban haji darinya. Dan tidak wajib baginya untuk menyewa orang lain untuk menghajikannya, meski ia mampu untuk hal tersebut.

Dan jika ia menyewa seseorang untuk menghajikannya, baik ia dalam keadaan sehat maupun sakit, baik itu haji fardhu maupun sunnah maka haji tersebut jatuh untuk orang yang disewa sebagai haji sunnah. 

Sedangkan yang menyewa hanya mendapatkan pahala membantu haji dan mendapatkan berkah doa darinya”.

Kedua, Madzhab Hanafiyah

Hukum badal haji dalam mazhab Hanafiyah, menyatakan bahwa ibadah haji dapat diwakilkan. Mereka yang tidak mampu melaksanakan kewajiban ibadah haji dengan dirinya sendiri wajib mencari wakil untuk melaksanakan haji untuknya. Syekh al-Jaziri berkata:

الحنفية قالوا: الحج مما يقبل النيابة, فمن عجز عن الحج بنفسه وجب عليه أن يستنيب غيره ليحج عنه

Hanafiyah berpendapat: Haji boleh hukumnya badal (wakilkan). Mereka yang tidak mampu untuk melaksanakan haji dengan sendirinya maka wajib untuk meminta orang lain menghajikannya.”

Syarat Tambahan badal haji

Namun, hal tersebut berlaku ketika memenuhi beberapa syarat:

  1. Ketidak mampuan si muwakkil (orang yang mewakilkan; orang yang di hajikan) prediksi berlangsung sampai ia wafat, secara adat. Seperti orang sakit yang tidak bisa  sembuh, buta atau orang yang lumpuh.
  2. Niat haji untuk si muwakkil. Seperti contoh: “Ahramtu ‘an Fulan wa Labbaytu ‘an Fulan”, saya niat Ihram untuk Fulan dan saya niat memenuhi panggilan untuk Fulan. Jika wakil niat untuk diri sendiri maka tidak mencukupi untuk haji muwakkil.
  3. Biaya haji kebanyakan dari yang di hajikan. Ketika seseorang berbuat baik dengan menghajikan orang lain dari hartanya, maka hal tersebut tidak mencukupkan meski orang yang di hajikan berwasiat untuk menghajikannya. Namun, jika tidak berwasiat kemudian salah satu ahli warisnya melaksanakan haji untuknya, maka ia berharap haji tersebut mendapatkan pahala dan jadi haji mabruk oleh Allah.
  4. Tidak menyaratkan adanya upah bagi wakil. Jika ada kelebihan biaya dari pelaksanaan haji, maka wakil wajib mengembalikannya. Kecuali jika si muwakkil merelakannya.
  5. Tidak menyalahi syarat yang diajukan oleh muwakkil, dengan semisal ia meminta untuk haji Ifrad maka yang dilaksanakan ialah haji Ifrad
  6. Baik wakil maupun muwakkil ialah muslim yang berakal.
  7. Wakil telah masuk usia tamyiz. Maka tidak sah jika si badal haji oleh yang belum tamyiz.

Syarat-syarat tersebut berlaku untuk haji fardhu. Adapun haji sunnah maka hanya di syaratkan untuk keduanya muslim, berakal, tamyiznya wakil serta tidak adanya akad sewa.

Ketiga, Madzhab Syafiiyah

Menurut Madzhab Syafiiyah, sama seperti halnya Hanafiyah, Syafiiyah menyatakan haji termasuk ibadah yang dapat di wakilkan. Perbedaan keduanya terletak pada ketentuan bolehnya badal (wakil) dalam Syafiiyah untuk menyewa seseorang dengan memberikannya upah. Sebagaimana pendapat Syekh al-Jaziri berikut:

الشافعية قالوا: الحج من الأعمال التى تقبل النيابة فيجب على من عجز عن الحج أن ينيب غيره ليحج بدله إما باستئجاره لذلك أو بالانفاق عليه

Syafiiyah berpendapat: Haji termasuk amal ibadah yang menerima untuk wakilkan. Maka wajib bagi yang tidak mampu melaksanakannya dengan diri sendiri untuk meminta orang lain untuk menjadi gantinya. Dengan menyewanya (memberi upah) atau dengan memberi biaya kepadanya

Ketidakmampuan tersebut bisa karena cacat, umur yang sudah tua, sakit yang panjang, yang harapan sembuh sangat tipis dengan khabar dari dokter yang adil.

Keempat, Madzhab Hanabilah

Imam Hanafi dalam hal ini sama halnya dengan Hanafiyah dan Syafiiyah, Hanabilah berpendapat bahwa haji hukumnya boleh badal (wakilkan) kepada oleh orang lain. Syekh al-Jaziri berkata:

الحنابلة قالوا: الحج يقبل النيابة وكذلك العمرة, فإذا عجز من وجبا عليه عن أدائهما وجب عليه أن ينيب من يؤديهما عنه وجوبا فوريا

Hanabilah berpendapat: Haji boleh badal (wakilkan), begitu juga umrah. Ketika seseorang tidak mampu melaksanakannya maka wajib baginya untuk mencari ganti (wakil) untuk melaksanakannya dengan segera.”

Demikian, sekilas terkait hukum badal haji menurut ulama 4 Madzhab. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Fatu Marando: Kampung Mualaf Penuh Harapan

FATU MARANDO. Demikian nama kampung mualaf itu. Terkesan asing? Wajar. Soalnya kampung ‘pendatang baru’.

Eit…, tapi jangan salah sangka. Ini bukan nama kampung yang terletak di daratan Afrika ataupun Amerika Latin, lho. Tapi masih di dalam negeri, Indonesia.

Ya. Fatu Marando adalah identitas sebuah perkampungan baru di hulu sungai terpanjang di Sulawesi Tengah, yakni Sungai Bongka. Penduduknya Suku Wana yang belajar hidup tidak nomaden lagi.

Menurut tokoh masyarakat setempat, Daniel, yang kini bernama hijrah Abdullah, Fatu berarti ‘batu’ dan Marando berarti “ukiran”. Jadi Fatu Marando adalah nama sebuah kampung yang di dalamnya ada batu berukir.

Untuk sampai ke tempat ini membutuhkan perjalanan panjang dan cukup melelahkan. Dari Bandara Syukuran Aminudin Amir di Luwuk, Sulawesi Tengah menuju Pandauke, perjalanan darat dengan mobil memakan waktu enam jam lamanya.

Sampai di lokasi, tidak bisa langsung melanjutkan perjalanan, karena harus mencari dan ikat janji dengan pemilik mobil off roads yang siap mengantar ke Lijo.  Tidak hanya jauhnya jarak tempuh yang menjadi tantangan. Tapi juga medan.

Betapa tidak, dari Pandauke ke Lijo, jalur yang ditempuh memiliki ketinggian lebih dari 1000 kaki dari permukaan laut. Sampai awan pun berada di bawah jalan yang dilalui off roads itu.

Setelah sampai, ada lagi tantangan baru; menyeberangi empat sungai. Hanya off roads yang bisa melakukan ini, dan dengan syarat air tak sedang meluap alias banjir.

Takdir Allah pula yang menentukan. Di saat tim BMH-Pos Dai hendak menyalurkan hewan qurban pada awal September lalu, situasi di sana sedang musim hujan, sehingga empat sungai tersebut dalam kondisi air tinggi, disertai arus cukup ganas, sehingga off roads angkat tangan.

“Kalau off roads angkat tangan, masih ada satu kendaraan yang mungkin mengantarkan kita menyeberangi sungaisungai itu, yakni jonder,” tutur Ustad Abdul Muhaimin, seorang dai di Fatu Marando yang menemani kami.

Jonder adalah traktor produksi John Dere, dikenal kuat bertahan melawan derasnya arus sungai. Usai menyeberang, titik ekstrem kedua siap dimulai, yakni naik ketinting melawan arus menuju hulu Sungai Bongka, yang memakan waktu perjalanan enam jam lamanya.

Namun, saat tiba di titik melewati bebatuan dengan arus begitu deras, ditambah kanan kiri sungai berupa tebing dengan pohonpohon yang berbaris rapi menjulang tinggi. Seketika suasana hati berteriak dengan banyak memmuji Allah karena keindahan alamnya, seolah semua bertasbih pada Allah.

Semakin ke hulu, bebatuan yang harus dilintasi semakin banyak. Arus pun kian kencang. Sempat satu ketinting kehabisan bensin di titik tersebut. Sontak semua berpegangan kuat dengan wajah penuh ketegangan.

“Lahaula wala quwwata illa billah, mari kita pasrah saja kepada Allah sembari mengucapkan doa-doa kunci agar Allah menolong dan mengampuni dosa-dosa kita,” pinta Muhaimin kepada segenap anggota rombongan.

Namun, setelah semua itu dilalui, perasaan lega dan bahagia menyergap diri sepenuh jiwa. Apalagi ketika telah melihat senyum warga menyambut kedatangan kami, terutama anakanak. Rasanya plong. Alhamdulillah.

Kampung Islam

Luas Kampung Fatu Marando berkisar 1000 meter persegi. Baru dirintis bulan Desember 2016 silam, bekerja sama dengan Pos Dai Hidayatullah.

Kondisi kampung mualaf ini jauh dari permukiman penduduk lain. Paling dekat adalah Kampung Wonsa, jarak tempuhnya setengah hari dengan berjalan kaki.

Aliran listrik belum masuk. Tak ayal, ketika malam menyapa, kondisi gelap, gulita akan menyergap kampong.

Kondisi alam sekitar pun masih terbilang asli. Semak belukar dan pohon-pohon besar tumbuh liar di sanasini. Pohon-pohon itu pulalah yang dijadikan bahan bangunan rumah warga.

Jangan ditanya soal binatang buas. Bahkan ular berbisa masih mudah ditemukan. Untungnya, tidak pernah masuk ke rumah warga.

Saat ini masih terdapat 20-an KK bermukim di kampung yang semua penduduknya adalah mualaf. Jarak antar-rumah warga, berkisar 7 meteran.

Untuk memenuhi kebutuhan harian, mereka bercocok tanam di lahan yang tersedia. Selain itu, juga dibina beternak ayam.

Masjid di sini masih dalam proses pembangunan. Di bangunan semi permanen inilah pembinaan keislaman warga dilakukan, termasuk pembelajaran al-Qur’an, bahasa Indonesia, dan berhitung bagi anak-anak.

Alhamdulillah, saat ini sudah banyak anak dari Suku Wana yang mampu membaca al-Qur’an dan berbahasa Indonesia. Cita-cita warga ingin menjadikan kampung mereka sebagai kampung muslim.

“Kami yakin di kampung ini kami akan menjadi manusia baru, karena sebelum ini kami tidak tahu apa itu hidup. Sejak masuk Islam, kami menjadi tahu bagaimana seharusnya. Alhamdulillah, dalam sepuluh bulan kampung ini berdiri, banyak keluarga saya yang masih tinggal di gunung-gunung tertarik dengan Islam dan ingin membangun rumah di kampung ini,” jelas Papa Rans, panggilan akrab Ustad Abdul Muhaimin.

“Warga membangun kampung ini dengan tekad untuk menjadi Muslim. Jadi, betapa berartinya diri ini jika kemudian bisa menjadi bagian, yang ikut mengantarkan masyarakat Suku Wana benar-benar menjadi Muslim yang mengamalkan ajaran Islam seutuhnya,” ujarnya penuh semangat.

Meski demikian, bukan berarti semua proses dakwah berjalan lancar. Kata Muhaimin, ada saja pihak yang tidak suka dan selalu menggembosi gerakan dakwah.

Tapi ia dan warga bertekad untuk terus bersemangat mewujudkan impian; membangun kampung muslim. “Kami berharap semoga Fatu Marando benar-benar menjadi kampung seperti binaan Musa bin Nushair di Maroko, yang pada masanya melahirkan sosok panglima hebat dari Suku Berber bernama Thariq bin Ziyadh, yang menaklukkan Andalusia, Spanyol,” doa Muhaimin. Amiin, ya Allah. Adakah pembaca yang tergerak membantu?*/Imam Nawawi & Robinsah

HIDAYATULLAH

Hukum Selfie Depan Ka’bah Saat Haji

Bagaimana hukum selfie depan Ka’bah saat haji? Pasalnya, praktik ini sering kali dilakukan oleh jamaah haji asal Indonesia. Pasalnya, menjamurnya penggunaan smartphone membuat kaum muslimin mengabadikan setiap momen.

Mudahnya akses internet serta canggihnya kamera handphone membuat hampir setiap orang yang mempunyainya dalam genggaman suka mengabadikan momen langka. Termasuk di dalamnya dalam pelaksanaan ibadah haji.

Tak jarang mereka yang melaksanakan ibadah haji mengabadikan momen mereka dengan berswa-foto selfie di tempat-tempat tertentu yang menurut mereka merupakan tempat yang bagus.

Termasuk di dalamnya ketika berada di dalam masjidil haram, ketika berada di depan Ka’bah. Lalu, bagaimanakah hukum selfie di depan Ka’bah?.

Hukum Selfie Depan Ka’bah Saat Haji

Sejatinya menunaikan ibadah apapun, termasuk haji merupakan bentuk penghambaan seorang manusia kepada Allah. Oleh karenanya memurnikan niat sebelum melaksanakan ibadah menjadi keharusan bagi setiap hamba. Segala hal yang dapat memicu timbulnya sesuatu yang dapat merusak nilai ibadah harus disingkirkan.

Berswa-foto selfie atau mengambil gambar dengan kamera pada hakikatnya merupakan sesuatu yang hukumnya mubah (boleh), karena tidak ada larangan dari syariat secara sharih, jelas. Sebagaimana fatwa dari Dar al-Ifta al-Misriyyah terkait hukum asal fotografi berikut:

التصوير والرسم من الفنون الجميلة التي لها أثر طيب في راحة النفوس والترويح عنها, وهما جائزان شرعا شريطة أن يخلو من الأثام والمحرمات, وان لا يكون الرسم أو التصوير مثيرا للشهوات وملهبا للغرائز, وكذلك لا يجوز الرسم أو التصوير إذا كان موضوع التصوير أو الرسم جسدا عاريا, أو عورة من العورات التي يأمر الدين والأخلاق والإستقامة والفطرة المستقيمة بسترها.

Memfoto dan menggambar termasuk salah satu seni rupa yang memiliki pengaruh baik terhadap kenyamanan dan ketentraman jiwa. Keduanya hukumnya boleh oleh syariat dengan syarat bebas dari dosa dan pantangan.

Tidak memancing nafsu dan amarah. Begitu juga tidak boleh untuk memfoto dan menggambar jika subjeknya berupa badan yang telanjang, atau aurat-aurat lain yang oleh agama, akhlak, fitrah yang selamat untuk menutupinya”.

Termasuk berswafoto selfie di depan Ka’bah, hukumnya boleh selagi tidak berpotensi untuk merusak nilai dari ibadah di dalamnya. Kata “merusak”, tersebut mencakup ibadah ia yang melakukan selfie dengan meninggalkan khidmat beribadah juga merusak ibadah orang lain dengan mengganggu mereka.

Karena sejatinya berkumpulnya seluruh umat Islam dari seluruh penjuru dunia tersebut hendak melaksanakan ibadah haji dan fokus beribadah kepada Allah. Maka seyogyanya bagi setiap umat Islam yang berhaji untuk menjaga ibadahnya sendiri dan orang lain.

Kesimpulan Hukum Selfie Depan Ka’bah

Maka dalam hal ini,  hukum selfie depan Ka’bah atau tempat-tempat ibadah lainnya memiliki beberapa kemungkinan:

Pertama, mubah (boleh). Hukum boleh tersebut merupakan hukum asal dari memfoto seperti yang sudah penjelasannya oleh penulis di atas.

Kedua, makruh bahkan bisa sampai pada taraf haram, jika berpotensi mengganggu ritual ibadah haji diri sendiri bahkan orang lain di sekitarnya.

Oleh karenanya, seyogyanya bagi orang yang melaksanakan ibadah haji untuk berhati-hati dalam pelaksanaan ibadah hajinya. Ibadah haji hanya wajib, seumur hidup sekali, maka selayaknya melakukannya dengan khusyuk dan khidmat.

Tidak sibuk dengan urusan duniawi seperti berfoto ria, terlebih di rumah Allah, Ka’bah Masjidil haram.

Demikian hukum selfie depan Ka’bah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Sebanyak 63,25 Persen Jamaah Haji Indonesia Risiko Tinggi

Sudah ada 99 kelompok terbang (kloter) yang tiba di Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA). Data tersebut hasil rekap dari tim promosi kesehatan (Promkes), pada Jumat (17/6) pukul 14.00 WAS.

“Dari 99 kelompok terbang (kloter) yang sudah tiba di Bandara AMAA ada 39.125 jemaah dengan persentase jemaah risti 63,25 persen,” kata anggota Promkes dr Aris Yudhariansyah, Ahad (19/6/2022). 

Aris mengatakan, berdasarkan deteksi dini tim promosi kesehatan sudah memberikan penyuluhan kepada 2.343 jamaah haji. Tim promkes sudah menemukan ada 269 kasus panyakit yang dialami jamaah haji. 

“Dari 269 kasus ini, lima sampai empat kasus adalah gangguan kardiovaskuler sementara satu kasus dari penyakit degeneratif lain seperti diabetes dan hipertensi,” katanya. 

Aris menyarankan, bagi jamaah yang mempunyai penyakit-penyakit yang termasuk dalam golongan risiko tinggi di Tanah Air bisa lebih mempersiapkan dirinya terkait dengan upaya kesehatannya. Jadi peran dokter pemeriksa awal mulai dari Puskesmas di daerah itu harusnya lebih lebih ketat lagi. 

“Sehingga riteria risiko tinggi itu sudah disematkan dan sudah diobservasi sejak pemeriksaan pertama kesehatan jemaah haji,” katanya. 

Aris mengatakan, ketika jamaah dilakukan pemeriksaan oleh dokter di embarkasi, maka hasilnya tinggal final cek kesehatan saja berdasarkan hasil medical record yang sudah didapat dari daerah.

Dokter juga bisa menambah pemeriksaan terhadap keluhan-keluhan jamaah saat menjelang keberangkatan. “Berdasarkan pemeriksaan free flight itu bisa diputuskan dengan cepat ini jamaah haji layak atau tidak layak melakukan perjalanan ke Arab Saudi,” katanya.   

IHRAM

Seruan Tuhannya Manusia untuk Seluruh Manusia (Bag. 8)

Seruan ketiga belas: Dahsyatnya hari kiamat, peringatan agar waspada dari setan, dan jangan sampai tertipu dengan dunia

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

Allah Ta’ala memerintahkan pada semua manusia untuk mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Allah juga perintahkan mereka untuk menghadirkan rasa takut pada hari kiamat, hari yang sangat berat. Hari di mana setiap orang tak peduli siapa-siapa selain dirinya sendiri. Orang tua tak bisa menolong anaknya, seorang anak tak bisa menolong orang tuanya sedikit pun. Mereka tak bisa menambah kebaikan atau mengurangi keburukan. Semua perkara pada hari itu di tangan Zat Yang Tak Terkalahkan, Zat yang tak bermanfaat di sisi-Nya segala rekomendasi di dunia pada hari itu. Tak ada yang bermanfaat di sisi-Nya, kecuali satu hal, amal saleh yang sudah dikerjakan oleh seseorang dalam kehidupannya di dunia.

Ketahuilah bahwa datangnya hari tersebut adalah satu kepastian karena Allah telah menjanjikannya dan Dia tak akan menyelisihi janji-Nya. Dia juga memperingatkan kalian agar jangan sampai tertipu dengan kehidupan dunia dan berbagai kelezatannya. Tertipu dengan kelezatan dunia ini bisa membuat kalian condong padanya dan meninggalkan persiapan untuk menghadapi akhirat yang bisa membebaskan kalian dari hukuman di hari itu.

Allah peringatkan pula agar kita waspada jangan sampai tertipu dengan godaan setan yang akan menjebak Anda dalam kemaksiatan dan menghiasi kemaksiatan tersebut di hadapan Anda kemudian membuat Anda berharap bisa bertobat setelahnya. Padahal setan itu akan melupakan dan meninggalkan Anda di hari kiamat nanti.

Seruan keempat belas: Mengingat nikmat Allah adalah sebab datangnya rasa syukur pada-Nya dan realisasi peribadatan kepada-Nya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (QS. Fathir: 3)

Allah memerintahkan seluruh manusia untuk mengingat nikmat-Nya pada mereka. Mengingat dengan hati dalam bentuk pengakuan, dengan lisan dalam bentuk pujian, dengan anggota badan dalam bentuk ketundukan. Mengingat nikmat Allah akan membuat seseorang bersyukur kepada-Nya. Kemudian Allah mengingatkan mereka tentang sumber segala kenikmatan, penciptaan, dan rezeki. Allahlah yang di tangan-Nya seluruh rezeki dan makanan untuk kalian. Ini merupakan bukti atas uluhiyah dan hak peribadahan hanya untuk Allah semata.

Mau berpaling ke mana kalian dari peribadahan kepada Allah Yang Maha Esa, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Pencipta segala sesuatu?! Tak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya dan tak ada Tuhan selain-Nya.

Bagaimana kalian bisa berpaling dari peribadahan kepada-Nya dan beriman pada-Nya semata kepada peribadahan selain-Nya berupa berhala-berhala yang tak bisa menciptakan apa-apa? Yang berhala itu juga makhluk yang dibuat oleh tangan-tangan kalian? Padahal sudah terang penjelasan dan sudah jelas pula bukti-buktinya.

Seruan kelimabelas: Manusia itu asalnya satu, mereka berbeda karena takwanya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Allah menyampaikan kepada seluruh manusia bahwa Dialah yang menciptakan anak keturunan Adam dari asal yang satu, dari jenis yang satu. Semuanya dari laki-laki dan perempuan dan nasab semuanya kembali pada Adam dan Hawa. Demikian pula Tuhan mereka satu.

Allah pun menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, baik yang kecil maupun yang besar, agar mereka saling mengenal. Seandainya mereka hanya sendiri-sendiri saja tak akan ada saling mengenal yang akan melahirkan saling tolong menolong, saling membantu, saling mewarisi, dan saling menunaikan hak kerabat. Allah jadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar perkara-perkara tersebut dapat ditegakkan yang itu semua bermula dari saling mengenal satu sama lain.

Kemudian Allah jelaskan bahwa kemulian mereka bukan karena suku atau bangsa mereka. Tak ada kelebihan orang Arab dibanding non-Arab, atau orang non-Arab dibandingkan orang Arab. Tak ada kelebihan orang kulit hitam dibandingkan orang kulit putih atau orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam. Tak ada pula kelebihan bagi yang berasal dari satu negeri tertentu. Mereka yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa yaitu yang paling banyak melakukan ketaatan dan menghindarkan kemaksiatan. Bukan mereka yang paling banyak kerabat atau kaumnya, bukan pula mereka yang paling mulia nasab keturunannya.

Allahlah yang Maha Mengetahui. Dia Maha Tahu siapa di antara kalian yang betul-betul bertakwa lahir dan batin. Maka jadikanlah ketakwaan sebagai bekal kalian untuk hari perhitungan nanti.

Selesai walhamdulillah.

[Selesai]

***

Penulis: Amrullah Akadhinta, S.T.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/75754-seruan-tuhannya-manusia-untuk-seluruh-manusia-bag-8.html

Memahami Ulang Makna Mengubah Kemunkaran

Mengubah kemunkaran dengan tangan tidak selalu dipahami secara harfiah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: ”Barangsiapa dari kalian melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman”. (HR Muslim)

Tidak sedikit orang yang memahami hadits di atas, bahwa agar tidak dicap sebagai orang yang lemah iman, maka dalam melihat kemunkaran haruslah mengubah dengan menggunakan tangan. Tidak sedikit pula orang memahami bahwa mengubah kemunkaran dengan menggunakan tangan adalah dengan cara melakukan tindakan anarkis.

Selain itu sebagian juga memahami, bahwa mengubah kemunkaran dengan menggunakan tangan, dapat dilakukan melalui suatu kekuasaan karena dengan kekuasaan tersebut maka kita dapat melakukan perubahan yang besar. Oleh karenanya, tidak jarang orang berlomba-lomba menjadi penguasa dengan niat untuk mengubah kemunkaran.

Pemahaman tersebut tidak sepenuhnya benar namun juga tidak sepenuhnya salah. Dikatakan benar karena secara realita hal itu bisa dilakukan.

Dikatakan salah, ketika orang yang berpaham demikian dapat berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan. Jika kedua pemahaman di atas digabung, yaitu melakukan tindakan anarkis sekaligus memiliki kekuasaan, tentunya yang muncul adalah penguasa yang penindas. Kekuasaannya digunakan untuk menindas dengan dalih mengubah kemunkaran.

Padahal makna menggunakan tangan dalam mengubah kemunkaran, secara universal dapat juga dipahami sebagai sebuah “tindakan”. Tindakan yang dimaksud adalah “keteladanan”.

Kita tahu bahwa manusia paripurna yang menjadi teladan kita adalah Nabi Muhammad. Kita pun tahu bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Oleh karena itu, mengubah kemunkaran menjadi kebajikan seyogyanya dilakukan dengan cara menjadi seorang yang bisa diteladani atau role model.

Keteladanan ini memang tidak mudah. Keteladanan adalah perjuangan karena tidak dapat digapai dengan begitu saja.

Perlu sering melakukan latihan dan tindakan. Banyak aspek yang perlu digapai untuk menjadi seorang yang teladan.

Tidak hanya bermodalkan akhlak terhadap sesama manusia, melainkan dibutuhkan pula akhlak kepada Tuhan dan alam semesta. Berbuat baik saja kepada manusia namun durhaka kepada Tuhan dan merusak alam, bukanlah keteladanan.

Begitu juga sebaliknya hanya beribadah saja kepada Tuhan namun abai terhadap sesama manusia dan alam lingkungan, juga bukanlah sosok yang ideal. Maka sungguh tepat bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang ideal untuk menjadi teladan, tidak hanya bagi umat Islam melainkan juga bagi seluruh umat manusia.

Dengan keteladanan akhlak terhadap Tuhan, manusia, dan alam semesta, Nabi Muhammad telah berhasil mengubah kemunkaran pada zaman jahiliyah hingga dunia menjadi maju seperti sekarang ini.

Bukankah banyak hal yang berubah di dunia ini secara signifkan setelah datanganya Nabi Muhammad? Bukankah banyak ajaran-ajaran dari Nabi Muhammad yang kemudian diadopsi atau diadaptasi hingga menjadi ilmu pengetahuan yang berkembang hingga saat ini?

Terlepas dari apakah umat manusia mempercayai beliau sebagai utusan Allah bahkan ada yang membencinya, faktanya saat ini dunia berubah menjadi maju secara signifikan setelah masa kenabian beliau, sejak 14 abad yang lalu. Tidak sedikit tokoh-tokoh dunia yang mengagumi Nabi Muhammad dan ajaran Islam, yang kemudian mengambil inspirasinya sehingga dapat mewarnai dunia ini.

Di dunia digital sekarang ini dengan berlimpahnya sosial media (sosmed), kita juga mengenal adanya influencer yang seringkali memberikan pengaruh kepada pengguna sosmed lainnya. Namun tidak sedkit influencer saat ini yang memiliki banyak follower hanya karena bermodalkan konten.

Tidak banyak influencer yang memberikan pengaruh dengan berbasis keteladanan yang ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan saja influencer yang banyak follower-nya tersebut memberikan contoh sebagai seorang muzakki yang rutin dalam membayar zakat kepada organisasi pengelola zakat.

Sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang muslim yang telah memenuhi nisab, dapat menginspirasi orang-orang yang kikir untuk kemudian mengikutinya membayar zakat. Aktivitas-aktivitas sosialnya bukanlah didesain sebagai content untuk mengumpulkan like ataupun follower, melainkan aktivitas yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-harinya tanpa rekayasa sehingga mempu memberikan inspirasi bagi orang lain untuk mengikuti kebaikannya. Kebaikannya itu bukan sekedar untuk mendapatkan jutaan like ataupun pujian, melainkan memang betul-betul mampu untuk mengubah orang yang tadinya gemar melakukan kemunkaran menjadi gemar melakukan kebaikan.

Kembali pada sabda Nabi Muhammad di atas, bahwa mengubah kemunkaran dengan tangan tidak selalu dipahami secara harfiah dengan tangan ataupun kekuasaan, melainkan dapat dipahami sebagai suatu tindakan keteladanan yang mampu menjadi inspirasi bagi banyak orang. Tindakan yang dilakukan pun bukanlah suatu rekayasa pencitraan sehingga mendapatkan banyak pujian dan sanjungan, melainkan tindakan suci yang lahir dari dorongan hati untuk memperoleh ridha dari Allah.

Hal inilah yang dilakukan oleh K.H.A. Dahlan melalui Muhammadiyah yang semakin berkembang, bahkan sampai di negeri-negeri seberang. K.H.A. Dahlan mengajarkan kepada kita bahwa untuk mengubah kemunkaran hendaknya selalu mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Wallahu’alam

Oleh: Miqdam Awwali Hashri

sumber : Suara Muhammadiyah

Diistimewakan Allah Bersebab Niat Jujur Orangtua

Nabi Ismail, Nabi Ishaq dan Nabi diistimewakan Allah Ta’ala bersebab kuatnya tekad, jujurnya niat dan untuk mewakafkan anaknya di jalan Allah SWT

ADA yang Allah Ta’ala istimewakan karena doa orangtua yang tak kenal lelah, penuh harap, bersungguh-sungguh dan tak berputus asa dalam memohon. Selebihnya di luar doa, orangtua mengisi kehidupannya dengan perjuangan menegakkan dakwah meninggikan syiar agama ini.

Inilah yang kita dapati pada kisah Nabi Ismail, Ishaq maupun Yahya. Di luar itu, ada pula yang Allah Ta’ala istimewakan bersebab kuatnya tekad, jujurnya niat dan besarnya kesungguhan orangtua untuk mewakafkan anaknya di jalan Allah SWT.

Mereka pun tak putus-putus berdoa, tetapi yang paling istimewa adalah nadzarnya untuk menjadikan anaknya berkhidmat di Baitul Maqdis, menghabiskan umurnya untuk beribadah dan menolong agama ini.

Allah Ta’ala berfirman:

إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٲنَ رَبِّ إِنِّى نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِى بَطۡنِى مُحَرَّرً۬ا فَتَقَبَّلۡ مِنِّىٓ‌ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

“(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran (Hannah) berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (QS: Ali Imran [3]: 35).

Istrinya Imran (ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٲنَ). Para ulama menyatakan bahwa ia adalah Hannah binti Faqudz. Muhammad bin Ishaq berkata, “Hannah binti Faqudz adalah seorang wanita yang tidak pernah hamil. Suatu hari ia melihat seekor burung memberi makan anak-anaknya, maka ia pun ingin mendapatkan anak. Lalu ia berdoa kepada Allah SWT agar memberinya seorang anak. Dan Allah SWT pun mengabulkan doanya. Setelah suaminya melakukan hubungan badan dengannya, maka ia pun hamil.”

Tatkala mengetahui dirinya benar-benar hamil itulah Hannah bernadzar kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan tekad yang sangat kuat. Ia sangat berharap anak laki-laki agar dapat sungguh-sungguh berkhidmat di Baitul Maqdis. Tetapi Allah Ta’ala rupanya menguji dengan memberikan anak perempuan.

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّى وَضَعْتُهَآ أُنثَىٰ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلْأُنثَىٰ ۖ وَإِنِّى سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّىٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

“Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk.”  (QS: Ali Imran [3]: 36).

Ada kekecewaan karena tak sesuai harapan, tetapi tidak menggugurkan nadzarnya. Ia tetap berkeinginan kuat agar anaknya dapat berkhidmat di Baitul Maqdis.

Allah SWT menyatakan, “وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ. Dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu.”

Ia pun memohon perlindungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi Maryam, putri yang baru dilahirkannya, beserta keturunannya. Allah Ta’ala terima nadzarnya sekaligus membaguskan pendidikannya.

Kelak Allah SWT berikan keturunan kepada Maryam seorang anak laki-laki yang mulia di masanya dan mulia pula ketika suatu saat nanti diturunkan kembali di muka bumi pada akhir zaman. Dialah Isa ‘alaihissalam.

Kelak ketika Maryam telah dewasa dan berkhidmat di Baitul Maqdis, Allah ‘Azza wa Jalla berikan keistimewaan berupa makanan dari surga; tersedia di mihrabnya. Ini mengherankan pamannya, Zakariya ‘alaihissalaam, seorang nabi yang mendapat amanah mengurusi Maryam.

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّاَنۡۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ‌ؕ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا الۡمِحۡرَابَۙ وَجَدَ عِنۡدَهَا رِزۡقًا ‌ۚ‌ قَالَ يٰمَرۡيَمُ اَنّٰى لَـكِ هٰذَا ؕ‌ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰهِ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ يَرۡزُقُ مَنۡ يَّشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nadzar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam darimana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS: Ali Imran [3]: 37).

Inilah kejadian berulang yang benar-benar menggugah Nabi Zakariya ‘alaihissalaam untuk berdoa memohon keturunan. Ia segera menadahkan tangan, meminta kepada Allah SWT sepenuh kesungguhan:

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a.” (QS: Ali Imran [3]: 38).

Sekali lagi kita belajar bahwa setiap permohonan, termasuk memohon keturunan, hendaklah tidak terlepas dari kebaikan. Dalam hal doa Nabi Zakariya ‘alaihissalam, beliau memohon ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً (keturunan yang bersih).

Jangan salah. Jika kita membaca ayat tersebut berurutan, seolah-olah doa Nabi Zakariya seketika dikabulkan dalam waktu sangat cepat. Adakalanya Allah SWT tidak seketika mengabulkan doa hamba-Nya justru karena hamba tersebut sangat dicintai-Nya.

Bukankah ini pula yang terjadi pada Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam saat berdoa memohon keturunan? Demikian pula pada Nabi Zakariya ‘alaihissalam hingga beliau berdo’a:

رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS: Maryam [19]: 4 – 6).

Saat itu Nabi Zakariya ‘alaihissalam sudah sangat tua. Demikian pula istrinya. Sudah tak mungkin lagi mengandung dan melahirkan. Tidak akan ada kemungkinan itu, kecuali hanya jika Allah ‘Azza wa Jalla memberi kekhususan sebagaimana api yang tidak membakar NabiyuLlah Ibrahim.

Artinya, sesuai sunnatullah perempuan lanjut usia sudah tidak mungkin lagi mengandung. Tetapi Allah Mahakuasa untuk memperbaiki segala sesuatu.

“Ingatlah kisah Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Aku perbaiki isterinya (sehingga dapat mengandung). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Al-Anbiya [21]: 89 – 90).

Dari sini jelas bahwa pada asalnya di usia yang sudah setua itu tak ada lagi peluang untuk mengandung. Namun ada perlakuan khusus dari Allah sebagai jawaban terhadap doa hamba-Nya yang shaleh. Allah SWT pun memberi kabar gembira:

يٰزَكَرِيَّاۤ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمِ اۨسۡمُهٗ يَحۡيٰى ۙ لَمۡ نَجۡعَلْ لَّهٗ مِنۡ قَبۡلُ سَمِيًّا

“Wahai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang bernama Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS: Maryam [19]: 7).

Alangkah istimewanya Yahya ‘alaihissalam. Belum pernah Allah ciptakan manusia yang serupa dengannya sebelum itu. Di antara keistimewaan sangat khusus yang diberikan kepadanya ialah hukma shabiyya (memiliki hikmah; kebijaksanaan saat masih kanak-kanak). Dan berbagai keistimewaan itu Allah karuniakan sebagai jawaban bagi doa tak putus-putus, terus-menerus hingga di saat yang serasa mustahil dari Nabi Zakariya ‘alaihissalam.

Nah, seperti apa doa kita untuk anak dan keturunan kita seluruhnya? sebagaimana orangtua kita?*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku-buku parenting

HIDAYATULLAH

Hukum Kambing Qurban Tidak Bertanduk, Sahkah?

Bagaimana hukum kambing qurban tidak bertanduk, apakah sah? Pasalnya, salah satu ciri khas kambing adalah bertanduk, baik kambing jantan maupun betina.

Hanya saja biasanya kambing betina tanduknya lebih pendek, daripada kambing betina. Karena ciri khas ini, maka ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa jika kambing tidak bertanduk, maka hal itu dianggap sebagai kurang baik dan tidak layak atau sah sebagai qurban.  Apakah benar kambing qurban harus bertanduk?

Hukum Kambing Qurban Tidak Bertanduk

Menurut para ulama, berqurban dengan kambing yang tidak bertanduk hukumnya boleh dan sah. Tidak masalah berqurban dengan kambing yang tidak bertanduk, baik kambing jantan maupun betina. Kambing qurban tidak harus bertanduk, melainkan boleh berqurban dengan kambing yang tidak bertanduk, baik tidak bertanduk karena memang dari asalnya atau karena patah dan lainnya.

Pendapat ini bersumber dari Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu berikut;

ويجوز أن يُضحَّى بالجَمَّاء (وهي التي لا قرن لها، أو مكسورة القرن؛ لأن القرن لا يتعلق به مقصود)، والخَصي (لأن لحمه أطيب

Boleh berqurban dengan hewan al-jamma’ atau hewan yang tidak memiliki tanduk, atau hewan yang tanduknya patah, karena tanduk tidak berkaitan dengan tujuan qurban sama sekali. Juga boleh berqurban dengan hewan yang dikebiri karena dagingnya lebih baik.

Di dalam kitab yang sama, Syaikh Wahbah juga menyebutkan sebagai berikut;

وتصح الأضحية بالجَمَّاء (المخلوقة بدون قرن)، وبالمُقْعدة (العاجزة عن القيام) لشحم كثر عليها، ومكسورة قرن من أصله، أو طرفه إن برئ.

Sah berqurban dengan al-jamma’ atau hewan yang tidak ada tanduknya sejak awal, dan boleh berqurban dengan hewan yang tidak mampu berdiri karena lemaknya banyak, dan hewan yang tanduknya patah sampai akar atau sebagian saja jika sudah sembuh.

Hal ini karena tidak bertanduk bukan bagian dari cacat dalam pandangan syariat. Secara umum, ada empat cacat yang membuat hewan tidak sah dijadikan qurban dan tidak bertanduk tidak masuk dalamnya; yaitu nyata-nyata pincang, nyata-nyata terkena penyakit, nyata-nyata buta, dan nyata-nyata sangat kurus.

Ini sebagaimana tertera dalam hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi berikut;

أربعة لا تجزئ في الأضاحي; العوراء البين عورها والمريض البين مرضها والعرجاء البين ضلعها والأجفاء التي لا تنقى

Ada empat cacat yang tidak mencukupi dalam berqurban; nyata-nyata buta, nyata-nyata sakit, nyata-nyata sangat kurus dan nyata-nyata pincang.

Kesimpulan Hukum

Dengan demikian, kambing qurban tidak harus bertanduk. Boleh dan sah berqurban dengan kambing yang bertanduk maupun yang tidak bertanduk, baik kambing jantan maupun betina.

Demikian hukum kambing qurban tidak bertanduk. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Beberapa Fawaid Seputar Babi

Pertama

Babi itu haram seluruh bagiannya. Dagingnya, air liurnya, kulitnya, darahnya, lemaknya, semuanya. Ulama ijmak (sepakat) akan hal ini. Tidak ada khilafiah dalam masalah ini.

Ayatnya jelas, Allah Ta’ala berfirman,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (QS. Al Maa’idah: 3).

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخَنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah” (QS. An Nahl: 115).

Kedua

Selain haram, babi juga najis seluruh bagiannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu ulama madzhab Syafii, Hambali, dan Hanafi.

Allah Ta’ala berfirman,

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu najis (QS. Al An’am: 145).

Ketiga

Kulit babi tetap najis walaupun sudah disamak. Ini pendapat ulama 4 mazhab. Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (20: 34),

اتّفق الفقهاء على أنّه لا يطهر جلد الخنزير بالدّباغ ولا يجوز الانتفاع به لأنّه نجس العين

“Para fuqaha sepakat bahwa kulit babi tidak bisa disucikan dengan cara disamak. Dan tidak boleh memanfaatkan kulit babi sama sekali, karena ia najis ‘ain.

Keempat

Menurut ulama Syafiiyyah dan Hanabilah, najisnya babi adalah najis mughallazhah yang harus disucikan dengan cara dicuci 7 kali, salah satunya dengan tanah.

Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَهُورُ إناءِ أحَدِكُمْ إذا ولَغَ فيه الكَلْبُ، أنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بالتُّرابِ

“Cara mensucikan bejana kalian yang dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya 7 kali, salah satunya dengan tanah” (HR. Muslim no.279).

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (20/34),

قالوا‏:‏ فإذا ثبت هذا في الكلب فالخنزير أولى لأنّه أسوأ حالاً من الكلب وتحريمه أشدّ

“Para ulama (Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyah) mengatakan, hadis ini berlaku untuk anjing. Sedangkan babi lebih buruk keadaannya daripada anjing dan pengharamannya lebih keras lagi.”

Kelima

Jual-beli babi itu tidak sah. Artinya, jual-belinya dianggap batal dan hasilnya haram.

Berdasarkan hadits dari Jabir Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung-patung.” Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah boleh menjual lemak bangkai? Karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit. Serta dapat dipakai untuk bahan bakar lampu?” Nabi menjawab, “Tidak boleh, ia tetap haram.”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi ketika itu, “Semoga Allah memusnahkan orang Yahudi. Sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya, lalu mereka ubah bentuknya menjadi minyak, kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya” (HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 1581).

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (20: 35):

أجمع الفقهاء على عدم صحّة بيع الخنزير وشرائه، ولحديث جابر بن عبد اللّه‏

“Para fuqaha sepakat tentang tidak sahnya jual-beli babi, berdasarkan hadis Jabir bin Abdillah.”

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/66125-beberapa-fawaid-seputar-babi.html