3 Permintaan Rasulullah dalam Doa yang Dipanjatkan Tiap Pagi

Rasulullah SAW rutin meminta tiga permintaan dalam munajat pagi.

Rasulullah SAW meneladankan dalam berdoa. Ada tiga permohonan yang Rasul SAW selalu lakukan di waktu pagi selepas sholat Subuh.

– أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا أصبَح قال: اللَّهمَّ إنِّي أسأَلُكَ عِلمًا نافعًا، ورِزْقًا طيِّبًا، وعمَلًا مُتقَبَّلًا  

“Allahumma innii asaluka ‘ilman naafi’a, wa rizqan thayyibaa, wa ‘amalan mutaqabbalaa” (Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diterima). (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Dalam doa itu, tiga permintaan yang senantiasa dimohonkan selepas Subuh. Subuh adalah waktu seseorang memulai aktivitas, juga menunjukkan bahwa ketiga hal yang diminta itu sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. 

Pertama, ilmu bermanfaat (ilman naafi’a). Ilmu yang bermanfaat merupakan hal yang perlu didahulukan dan diutamakan sebagai bekal hidup bagi manusia. Ilmu yang bermanfaat akan mengantarkan kepada kesuksesan hidup di dunia bahagia, di akhirat masuk surga. Nabi SAW bersabda sebagaimana dinukilkan Abu Hurairah RA:   

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim).

Berkaitan ilmu bermanfaat, Nabi SAW bersabda: 

عن عبدالله بن عمرو بن العاص أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يتعوذ من أربع، وكان يقول: (اللهم إني أعوذ بك من قلبٍ لا يخشع، ونداء لا يسمع، ومن نفس لا تشبع، ومن علم لا ينفع

Dari Abdullah  bin Al-Ash, bahwa Rasulullah SAW berlindung dari empat perkara yaitu: “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari hati yang tidak khusyuk, doa yang tidak terkabul, nafsu yang tidak puas, dan ilmu yang tak bermanfaat.” 

Kedua, rezeki yang baik (rizqan thayyibaa). Dengan ilmu yang bermanfaat, seseorang akan dapat memilah rezeki antara yang halal dan yang haram. 

 إنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وإنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ

“Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas pula.” (HR Bukhari dan Muslim).

Alquran memerintahkan agar kaum Muslimin memastikan diri mengonsumsi rezeki yang baik-baik. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allâh, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu beribadah.” (QS al-Baqarah [2]: 172).

Ketiga, amal yang diterima (amalan mutaqabbalaa), yaitu amalan yang diterima di sisi Allah dan mendatangkan pahala bagi orang yang mengerjakannya. Syarat amalan itu diterima adalah dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi SAW. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS al-Kahfi [18]: 110). 

KHAZANAH REPUBLIKA

Pahala Bangun Pagi

Bangun pagi jadi penanda waktu dimulainya semua kebaikan.

Pagi adalah masa awal sebuah hari. Bagi orang Indonesia waktu pagi terbentang mulai tengah malam hingga matahari terbit. Dalam Islam waktu pagi identik dengan waktu Subuh. Kata “Subuh” itu sendiri berarti pagi. Kata “Pagi” dalam Alquran diulang hingga sembilan belas kali. Terkait ini, tentu bangun pagi juga memiliki keistimewaan tersendiri.

Nabi SAW memberi informasi, “Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang di antara kalian pada saat tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika ia bangun lalu berzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepaslah lagi satu ikatan.

Kemudian jika dia mengerjakan shalat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah pahala bagi yang bangun pagi. Pertama, terlepas dari belenggu setan. Kedua, merasa semangat dan bergembira.

Sementara bagi orang yang meneruskan tidurnya akan mendapatkan kerugian. Pertama dia akan suram mukanya dan tidak bergairah. Kedua, tidak shalat Subuh. Padahal shalat Subuh disaksikan oleh para malaikat. Allah SWT berfirman, “Dan dirikanlah shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat)” (QS. al-Isra’/17: 78).

Menurut pengarang Tafsir Jalalain, malaikat yang menyaksikan shalat Subuh sangat banyak. Mereka adalah para malaikat yang berjaga pada malam hari dan para malaikat yang berjaga pada siang hari. Nabi SAW bersabda, “Para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul di waktu Subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam keluarga, bangun pagi harus menjadi budaya, di samping sebagai ajaran agama. Seorang ayah, harus mampu membangunkan anaknya untuk shalat Subuh. Suami isteri harus saling berpesan untuk saling membangunkan  apabila ada anggota keluarga  yang bangun kesiangan. Insya Allah keluarga yang bangun pagi akan mendapat pahala.

Nabi SAW bersabda ketika membangunkan Fatimah, puteri kesayangan beliau, ”Wahai anakku, bangunlah. Songsong rezeki Tuhanmu dan janganlah kamu termasuk pribadi  yang lalai. Sebab Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya di antara terbit fajar dengan terbit matahari.” (HR. Ahmad dan Baihaki). Inilah pahala bangun pagi, beroleh rezeki.

Selanjutnya orang yang bangun pagi akan didoakan oleh Nabi SAW. Hal ini terkuak dalam hadits yang ditulis oleh Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Turmudzi dalam kitab induk hadits  mereka. Nabi SAW bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi”. Tentu ini adalah keberuntungan tiada tara bagi orang yang senantiasa bangun pagi.

Bangun pagi selain ditujukan untuk beribadah, harus juga didedikasikan untuk menolong sesama. Terkait hal ini, Syaikh Nawawi Banten dalam Nashaihul Ibad mengutip hadits Nabi SAW, “Barangsiapa yang di awal pagi mendedikasikan diri menolong orang yang dizalimi dan memberi yang orang Islam perlukan, maka ia mendapat pahala seperti haji mabrur.” 

Dari semua informasi di atas, maka dapat dimengerti bahwa bangun pagi jadi penanda waktu dimulainya semua kebaikan. Sementara pada setiap kebaikan yang dilakukan ada pahala tersendiri yang dijanjikan. Yang dijanjikan itu pasti akan diberikan. Allah SAW tegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran/3: 9).

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Domba-domba Kematian

RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Kelak, kematian akan didatangkan dalam bentuk domba yang berwarna putih campur hitam, lalu ada suara yang menyerukan, Wahai para penduduk surga! maka mereka pun melongok dan melihat. Selanjutnya ia berkata, Apakah kalian mengenal domba ini? Mereka menjawab, Ya. Ini adalah kematian.

Mereka semua melihatnya. Kemudian ia menyerukan, Wahai para penduduk neraka! Maka mereka pun melongok dan melihat. Selanjutnya ia berkata, Apakah kalian mengenal domba ini? Mereka menjawab, Ya. Ini adalah kematian. Semuanya melihatnya. Lalu domba tersebut disembelih. Kemudian ia berkata, Wahai penduduk surga, kalian kekal selamanya. Tidak ada matinya. Wahai penduduk neraka. Kalian kekal selamanya. Tidak ada matinya.”

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Maka, penduduk surga semakin bertambah bahagia sedangkan penduduk neraka semakin bertambah sengsara.” Kemudian beliau shallallahu alaihi wa sallam membaca:

“Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.” (QS Maryam: 39).

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu dengan redaksi Imam Ahmad. Diriwayatkan pula oleh asy-Syaikhani dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu. Redaksi keduanya mirip dengan redaksi imam Ahmad.

Saat itulah, manusia akan hidup abadi selama-lamanya, mereka tidak akan mengalami kematian karena kematian telah Allah binasakan. Bahagialah penduduk surga dengan kebahagiaan yang abadi, sengsara dan binasalah penduduk neraka dengan siksaan yang tiada akhir.

Oleh karena itu kaum muslimin, janganlah kita tukar kehidupan di dunia ini yang sementara dengan derita yang tak berujung di akhirat sana. Pergunakanlah dunia untuk menjemput kebahagiaan abadi di surga.

[Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah/kisahmuslim]

INILAH MOZAIK

Bella, Seorang Ibu yang Jadi Mualaf Karena Putranya

Karena putranya, Bella menjadi mualaf.

Beberapa tahun yang lalu, Bella ingat ketika dia memiliki banyak masalah dengan putra-putranya. Ada yang keluar dari sekolah, dan menghabiskan hari-harinya tidur dan minum-minum serta mencari masalah di jalanan. Anaknya yang lain mengalami kesulitan besar dan menjalani hukuman dua tahun penjara.

Seperti dikutip dari About Islam, Rabu (22/7), Bella tidak tahu harus berbuat apa. Dia telah meninggalkan Kolombia lebih dari lima belas tahun yang lalu untuk mencari masa depan yang lebih baik bagi keluarganya di AS. Dia telah bekerja sangat keras dalam berbagai pekerjaan. Suatu hari, putranya, Jorge, pulang dan dia melihat di wajahnya bahwa sesuatu telah terjadi.

“Ketika Jorge pulang ke rumah pagi itu,” kata Bella, “dia tampak berbeda. Dia tampak lelah seperti biasa. Dia berbau seperti alkohol dan rokok. Tapi ada yang aneh. Saya mencari petunjuk di wajahnya.”

Tetapi Jorge saat itu tidak memandangi ibunya. Dia mandi dan kemudian pergi ke kamarnya. Keesokan paginya, dia merasakan pagi ini ada yang berbeda. Dia mengetuk pintu dan masuk. Jorge terlihat duduk di tempat tidurnya, sedang berpikir.

Bella bertanya pada putranya soal apakah semuanya baik-baik saja. Putranya mengaku baik-baik saja. Namun, Bella merasa ada ekspresi yang aneh di wajah anaknya itu. Kemudian dia duduk di sebelah Jorge, dan menyentuh punggungnya. Tiba-tiba, Jorge menyampaikan keinginannya untuk berhenti minum alkohol karena itu tidak baik.

“Saya senang mendengarnya. Bagaimanapun juga itulah yang telah saya doakan selama ini. Saya hanya mengatakan kepadanya bahwa itu adalah ide yang bagus. Saya pikir hanya itu yang mengganggunya. Namun, pengakuan ini hanyalah awal dari perubahan besar pada putra saya,” kata Bella.

Mulai dari pagi itu, Jorge tidak minum lagi. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamarnya. Terkadang dia pergi dengan seorang teman yang menjemputnya. “Temannya sangat sopan. Dia selalu mengenakan kain putih cerah dan kopiah kecil. Dan ketika dia tersenyum, saya merasa seperti cahaya bersinar darinya,” cerita Bella.

Suatu hari, Bella mengundang teman baru Jorge ke rumah dan telah disiapkan makan malam sederhana. Jorge dan temannya duduk. Dan kemudian mereka mulai berbicara tentang Tuhan.

“Aku tidak ingat semua yang mereka katakan. Saya sangat terkejut karena anak saya belum pernah berbicara tentang Tuhan sebelumnya. Saya selalu berdoa dengan tenang di kamar saya. Tapi saya tidak pernah menjadikannya masalah besar di keluarga kami,” jelasnya.

Setelah itu Bella masih santai ketika putranya dan temannya berbicara tentang Tuhan. Tetapi kemudian Jorge menyampaikan kepada dirinya bahwa ia telah menjadi seorang Muslim. Bella terkejut.

“Bukankah Muslim itu teroris?,” Bella bertanya. “Saya benar-benar kewalahan dengan situasi ini. Saya hanya mengambil piring, membersihkan meja dan menyuruh mereka pergi.”

“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya pergi ke kamar saya dan saya berdoa. Ini sangat aneh. Dan rasanya seperti untuk pertama kalinya saya berbicara langsung kepada Tuhan dan meminta bantuan-Nya. Biasanya saya berdoa tetapi kali ini berbeda.”

Jorge tidak pulang selama berhari-hari. Bella pun khawatir dan berpikir telah mendorong anaknya kembali ke gaya hidupnya yang dulu. Namun, Jorge telah berubah. Dia sudah berhenti minum. Dia tidak keluar di malam hari. Dia tidak berkelahi lagi.

“Apakah ini semua karena dia menjadi Muslim? Saya mengenal banyak orang beragama di desa lama saya yang masih melakukan hal-hal buruk, minum dan kemudian pergi ke gereja. Tetapi agama yang disebut Islam ini hanya mengubah anak saya menjadi orang baik. Saya tidak bisa menunggu dia kembali ke rumah. Selama hari-hari ini, saya berdoa lebih dari biasanya. Saya meminta Tuhan untuk membawa Jorge pulang,” kata Bella.

Jorge pulang setelah pergi lebih dari dua pekan. Wajahnya bersinar dan dia memeluk ibunya seolah tidak pernah memelukku sebelumnya. “Saya sangat senang. Penuh dengan sukacita dan harapan,” ucap Bella.

Bella dan Jorge duduk bersama untuk berbicara dan berdiskusi. Jorge memberitahu ibunya soal Keesaan Allah dan Allah adalah tunggal tidak memiliki anak.

“Saya bisa menerimanya. Dia (Jorge) memberi tahu saya tentang sholat lima waktu dan hal-hal penting lainnya dalam Islam. Saya mengambil semuanya. Saya bisa menerima Jorge menjadi Muslim sekarang. Tetapi ketika dia bertanya kepada saya apakah saya ingin menerima Islam, saya mengatakan kepadanya bahwa saya perlu lebih banyak waktu,” ungkap Bella.

Setengah tahun berlalu, hingga akhirnya Bella menerima Islam dari tangan putranya itu. “Itu adalah momen yang indah. Alhamdulilah. Ketika putra saya yang lain dibebaskan dari penjara, tidak butuh waktu lama dan ia juga menerima Islam. Dan dia telah menghindari masalah sejak itu. Melalui Islam, Tuhan mengembalikan dua putra saya yang luar biasa. Dia menyelamatkan mereka dari kekerasan dan kehancuran di jalanan,” imbuh Bella.

sumber: https://aboutislam.net/reading-islam/my-journey-to-islam/i-embraced-islam-because-of-my-son/

KHAZANAH REPUBLIKA

Jamaah Haji tak Ada yang Terpapar Covid-19

 Departemen Kesehatan Arab Saudi mengumumkan pada hari Jumat kemarin bahwa tidak ada penyakit yang mempengaruhi kesehatan masyarakat telah dicatat di antara jamaah haji. Kondisi kesehatan mereka secara keseluruhan baik-baik saja.

Kementerian kesehatan juga menekankan bahwa tidak ada kasus infeksi coronavirus yang dilaporkan di antara para peziarah, seperti dilansir Saudi Press Agency.

Kementerian tersebut juga menyatakan telah mengerahkan sebanyak 8.000 petugasp, termasuk praktisi kesehatan dan staf pendukung untuk melayani para peziarah. Mereka pun telah menyiapkan enam rumah sakit, 51 klinik kesehatan dan 200 ambulan untuk menyediakan layanan kesehatan bagi para peziarah di Mekah dan tempat-tempat suci.

Dan dii lapangan ada 62 tim yang bekerja untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, tindak lanjut, dan pengawasan medis preventif kesehaatan jamaah sepanjang waktu.

IHRAM

Berjemaah 40 Hari Terbebas Neraka dan Sifat Munafik?

ADA yang bertanya seputar hadis yang intinya bahwa seorang yang secara rutin 40 hari terus menerus salatnya berjemaah, akan bebas dari neraka dan sifat munafik?

Dinyatakan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Siapa yang salat jemaah selama 40 hari dengan mendapatkan takbiratul ihram, maka dia dijamin bebas dari dua hal, terbebas dari neraka dan terbebas dari kemunafikan.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 12583, Turmudzi 241, dan yang lainnya. Ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya. Sebagian menghasankan dan sebagian menilainya dhaif. Dalam Fatawa Islam dinyatakan,

Hadis ini dinilai dhaif oleh beberapa ulama masa silam dan mereka beralasan statusnya mursal. Dan dihasankan oleh sebagian ulama mutaakhirin. Simak Talkhis al-Habir, 2/27. (Fatawa Islam, no. 34605).

Kemudian, terdapat dalam riwayat lain dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Apabila kalian melihat ada orang yang terbiasa pulang pergi ke masjid, saksikanlah bahwa dia orang mukmin. Allah berfirman,

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah.” (at-Taubah: 18). (HR. Ahmad 11725, Turmudzi 2617, Ibn Majah 802 dan dinilai dhaif oleh al-Albani).

Hadis yang berbicara masalah ini, statusnya memang bermasalah. Hanya saja, tingkatan dhaifnya ringan. Dan sebagian ulama membolehkan berdalil dengan hadis dhaif dalam masalah fadhilah amal, yang di sana tidak ada unsur hukum.

Dalam Fatawa Islam dinyatakan,

Tidak diragukan bahwa semangat untuk mendapatkan takbiratul ihram, selama rentang masa ini merupakan tanda betapa dia adalah orang yang kuat agama. Selama hadis tersebut ada kemungkinan shahih, maka diharapkan bagi orang yang semangat mengamalkannya, dia akan dicatat mendapatkan keutamaan yang besar itu. Minimal yang diperoleh seseorang dengan melakukan hal itu, dia bisa mendidik dirinya untuk menjaga syiar islam yang besar ini. (Fatawa Islam, no. 34605).

INILAH MOZAIK

Jika Ragu Akan Kehalalan Sembelihan, Apa Hukumnya?

Halal atau Haram?

Apakah hukum asal sembelihan yang meragukan, halal atau haram?

Maksud pertanyaan di atas adalah jika kita meragukan status suatu sembelihan, apakah telah disembelih sesuai ketentuan agama atau tidak, maka apa status sembelihan itu, halal atau haram?

Status sembelihan yang meragukan = haram!

Ketentuan yang termaktub dalam hadits shahih adalah kaidah yang berbunyi “hukum asal sembelihan adalah haram” (الأصل في الذبائح التحريم), sehingga apabila status suatu sembelihan diragukan, apakah telah memenuhi syarat sembelihan yang benar atau tidak, maka haram mengonsumsinya.

Adanya kesepakatan akan hal tersebut disampaikan oleh an-Nawawi rahimahullah,

فيه بيان قاعدة مهمة وهي أنه إذا حصل الشك في الذكاة المبيحة للحيوان : لم يحل؛ لأن الأصل تحريمه، وهذا لا خلاف فيه

“Ada penjelasan terhadap kaidah penting yang termuat dalam hadits di atas, yaitu apabila muncul keraguan terhadap keabsahan proses penyembelihan, maka status sembelihan tidaklah halal karena hukum asal sembelihan adalah haram. Tidak ada yang menyelisihi ketentuan ini.” [Syarh Shahih Muslim, 13/116].

Ibnu al-Qayyim rahimahullah menuturkan,

لمَّا كان الأصل في الذبائح : التحريم ، وشك : هل وجد الشرط المبيح أم لا ؟ بقي الصيد على أصله في التحريم

“Mengingat hukum asal sembelihan adalah haram, dan diragukan apakah sembelihan telah memenuhi syarat ataukah tidak, maka status binatang buruan tetap pada hukum asalnya, yaitu haram.” [I’lam al-Muwaqqi’in, 1/340]

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

وما أصله الحظر، كالأبضاع ولحوم الحيوان: فلا يحل إلا بيقين حله من التذكية والعقد، فإن تردد في شيء من ذلك لظهور سبب آخر: رجع إلى الأصل، فبنى عليه

“Segala sesuatu yang asalnya haram dikonsumsi seperti anggota tubuh dan daging hewan, maka tidaklah halal dikonsumsi kecuali telah kehalalannya telah diyakini dengan penyembelihan dan akad yang tepat. Apabila diragukan karena adanya sebab yang lain, maka statusnya kembali pada hukum asal dan itulah yang berlaku.” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam hlm. 93]

Ini Dalilnya!

Dalil ketentuan di atas adalah sebagai berikut:

  • Perihal hewan buruan yang terkena anak panah dalam hadits ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنْ وَجَدْتَ مَعَ كَلْبِكَ كَلْبًا غَيْرَهُ وَقَدْ قَتَلَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّهُمَا قَتَلَهُ

“Apabila ada anjing lain yang menyertai anjingmu, lalu hewan buruan tersebut kamu temukan dalam keadaan terbunuh, maka janganlah kamu memakannya. Karena kamu tidak tahu apakah anjingmu atau ataukah anjing lain tersebut yang membunuhnya.” [HR. al-Bukhari: 5484 dan Muslim: 1929].

dalam riwayat yang lain tercantum redaksi,

إذا أرسلتَ كلبَكَ فوجدتَ معهُ غيرَهُ فلا تأكُلْ، فإنكَ إنما سمَّيتَ على كلبِكَ ولم تُسمِّ على غيرِهِ

“Apabila engkau melepas anjing pemburumu, kemudian ternyata engkau menjumpai anjing lain bersama anjingmu di samping hewan buruan, maka janganlah kamu memakannya. Karena engkau hanya menyebutkan nama Allah pada anjing buruanmu dan bukan pada anjing lain.” [Shahih Sunan an-Nasaai : 4283]

  • Dalam hadits yang sama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنْ رَمَيْتَ سَهْمَكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ فَإِنْ غَابَ عَنْكَ يَوْمًا فَلَمْ تَجِدْ فِيهِ إِلَّا أَثَرَ سَهْمِكَ فَكُلْ إِنْ شِئْتَ وَإِنْ وَجَدْتَهُ غَرِيقًا فِي الْمَاءِ فَلَا تَأْكُلْ

“Apabila kamu membidikkan panah, maka sebutlah nama Allah. Jika hewan yang telah kamu panah tersebut baru kamu temukan setelah satu hari sedangkan di tubuhnnya tidak ada luka lain kecuali luka akibat anak panahmu, maka makanlah. Apabila kamu menemukan tenggelam di dalam air, maka jangan kamu makan.” [HR. al-Bukhari : 5484 dan Muslim : 1929]

Hadits-hadits di atas secara tegas menyatakan bahwa jika kita meragukan apakah syarat penyembelihan telah terpenuhi atau tidak pada hewan, maka status hewan itu tidak halal dikonsumsi.

Impor sembelihan dari negara non-muslim

Berdasarkan uraian di atas maka ketetapan yang telah disepakati di atas menunjukkan bahwa daging sembelihan yang diimpor dari negara non-muslim tidaklah halal karena proses penyembelihannya diragukan. Itu alasan minimalnya, apatah lagi jika sebagian orang yakin bahwa sembelihan dari negara non-muslim tersebut memang tidak disembelih dengan proses yang benar berdasarkan fakta. Ketentuan yang bisa disimpulkan dari uraian sebelumnya adalah jika kita meragukan keberadaan syarat penyembelihan yang benar pada suatu sembelihan, maka sembelihan itu tidak boleh dikonsumsi.

Bagaimana dengan sembelihan ahli kitab, bukankah dihalalkan?

Hal ini dijawab oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah,

إن باب الذبائح على التحريم، إلا ما أباحه الله ورسوله، فلو قدر تعارض دليلي الحظر والإباحة، لكان العمل بدليل الحظر أولى لثلاثة أوجه:

أحدها: تأييده الأصل الحاظر.

الثاني: أنه أحوط.

الثالث: أن الدليلين إذا تعارضا تساقطا ورجعا إلى أصل التحريم” انتهى من أحكام أهل الذمة

“Bab sembelihan terbangun di atas hukum asal haram kecuali yang diperbolehkan Allah dan rasul-Nya. apabila ternyata terdapat dua dalil bertentangan, antara yang melarang dan yang membolehkan, maka yang menjadi pilihan adalah mengamalkan dalil yang melarang karena tiga alasan berikut:

Pertama, dalil yang melarang menguatkan hukum asal yang mengharamkan.

Kedua, mengamalkan dalil yang melarang termasuk tindakan yang lebih hati-hati.

Ketiga, apabila terdapat dua dalil yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka keduanya dikembalikan pada hukum asal, yaitu haram.” [Ahkam Ahli adz-Dzimmah 1/538, 539]

Ucapan Ibnu al-Qayyim di atas terdapat dalam uraian beliau yang menetapkan hukum asal sembelihan adalah haram hingga terbukti halal.

Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha

Aisyah radhiallahu ‘anha menyampaikan,

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

“Wahai Rasulullah, ada suatu kaum yang mendatangi kami dengan daging yang kami tidak tahu apakah mereka menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya atau tidak”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebutlah nama Allah, lalu makanlah”.” [HR. al-Bukhari : 2057]

Bagaimana dengan hadits ‘Aisyah ini?

Hadist ‘Aisyah di atas berlaku apabila seorang tidak mengetahui apakah penyembelih mengucapkan nama Allah atau tidak ketika menyembelih. Maka dalam kasus tersebut sembelihannya diperbolehkan untuk dikonsumsi karena hukum asal sembelihan muslim dan ahli kitab adalah sah dan halal. Dengan demikian tidak perlu memastikan apakah syarat penyembelihan telah dilakukan dengan benar atau tidak. Hal ini berbeda dengan kasus yang ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas, dimana muncul keraguan karena adanya sebab. Itulah maksud dari perkataan Ibnu Rajab rahimahullah,

فإن تردد في شيء من ذلك لظهور سبب آخر: رجع إلى الأصل، فبنى عليه

“Apabila diragukan karena adanya sebab yang lain, maka statusnya kembali pada hukum asal dan itulah yang berlaku.” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam hlm. 93]

Terkait hadits hewan buruan yang statusnya diragukan, Ibnu al-Qayyim mengomentari,

وأما تحريم أكل الصيد إذا شك صاحبه: هل مات بالجرح أو بالماء؟ وتحريم أكله إذا خالط كلابه كلبا من غيره، فهو الذى أمر به رسول الله صلى الله تعالى عليه وآله وسلم، لأنه قد شك فى سبب الحل، والأصل فى الحيوان التحريم. فلا يستباح بالشك فى شرط حله، بخلاف ما إذا كان الأصل فيه الحل. فإنه لا يحرم بالشك فى سبب تحريمه كما لو اشترى ماء أو طعاماً، أو ثوباً لا يعلم حاله، جاز شربه وأكله ولبسه

“Apabila pemburu meragukan status hewan buruannya, apakah ia mati karena luka gigitan anjing buruannya atau tenggelam dalam air. Atau apakah ia mati karena gigitan anjing buruannya atau gigitan anjing yang lain, maka haram mengonsumsi daging hewan buruan itu. Itulah yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pemilik anjing buruan tidak bisa memastikan (ragu) terhadap sebab kehalalan hewan buruan. Hukum asal hewan sembelihan adalah haram dikonsumsi, adanya keraguan terhadap sebab kehalalan hewan buruan tidak lantas membolehkannya untuk dikonsumsi. Berbeda halnya dengan sesuatu yang hukum asalnya halal, adanya keraguan terhadap sebab pengharamannya tidak lantas menjadikannya haram. Hal ini seperti orang yang membeli air, makanan, atau pakaian yang tidak diketahui kehalalannya, dalam hal ini ia boleh meminum, memakan, dan memakainya.” [Ighatsah al-Lahafan 1/180]

Perhatikan pembedaan yang dilakukan beliau antara keraguan terhadap sesuatu yang hukum asalnya haram dan keraguan terhadap sesuatu yang hukum asalnya halal.

Kesimpulan

Uraian di atas memberikan kesimpulan berikut:

  1. Apabila muslim tidak mengetahui pasti proses penyembelihan hewan dengan sempurna, maka ia tidak berkewajiban memastikan dan mencari tahu kehalalan proses penyembelihan hewan tersebut, karena hukum asalnya sembelihan itu halal dikonsumsi.
  2. Apabila muslim mengetahui syarat penyembelihan pada hewan tidak terpenuhi atau ia ragu yang didasari fakta, maka hukum asalnya adalah syarat penyembelihan pada hewan itu tidak terpenuhi sehingga haram dikonsumsi.

Demikianlah yang bisa disampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Ilmui Dulu, Baru Usaha

Konsep keliru yang banyak diterapkan oleh sebagian pengusaha Muslim adalah: jalan dulu, ilmunya nanti sambil jalan. Atau kata orang Jawa: “dipikir karo mlaku”.

Kalau urusannya dengan ilmu agama, atau lebih tepatnya masalah: fikih muamalah, maka ini keliru.

Ilmu sebelum berkata dan berbuat

Dalam masalah agama, masalah halal-haram, tidak boleh berkata dan berbuat tanpa ilmu. Allah ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabnya” (QS. Al-Isra’ : 36).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

أن الله تعالى نهى عن القول بلا علم بل بالظن الذي هو التوهم والخيال

“Allah Ta’ala melarang untuk bicara tanpa ilmu, yaitu bicara dengan sekedar sangkaan yang merupakan kerancuan dan khayalan” (Tafsir Ibnu Katsir).

Oleh karena itu para ulama mengatakan:

العلم قبل القول والعمل

“Ilmu harus ada sebelum berkata dan berbuat”.

Berilmu sebelum memulai usaha

Oleh karena itu, tidak boleh seseorang belum paham ilmu fikih muamalah terkait usahanya, lalu dia sudah menjalankan dan mengeksekusi usahanya.

Padahal dia belum mengetahui:

  • Apa saja syarat dan rukun jual beli?
  • Apa jenis akad yang ia lakukan dalam usahanya?
  • Apa saja syarat-syarat akad tersebut?
  • Apa itu khiyar?
  • Apa saja hak dan kewajiban penjual serta pembeli?
  • Apa itu riba dan apa saja jenisnya? Dan adakah riba dalam usahanya?
  • Apa itu gharar? Bagaimana bentuknya? Dan adakah gharar dalam usahanya?
  • dll.

Maka sikap yang benar adalah: ilmui dulu fikih muamalahnya, baru setelah itu mengeksekusi usaha sesuai dengan tuntunan agama.

Sahabat Nabi yang mulia, Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, bahkan mengatakan:

لاْ يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاْ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِيْ الدِّيْنِ

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kami, kecuali orang yang paham fikih (dalam jual-beli)” (HR. At Tirmidzi no. 487, ia mengatakan: “hasan gharib”, dihasankan Al Albani dalam Shahih at Tirmidzi).

Imam An Nawawi mengatakan:

وأمّا البيعُ والنّكاحُ وشبههُما – ممّا لا يجبُ أصلُه – فيحرُمُ الإقدامُ عليه إلاّ بعدَ معرفةِ شرطِه

“Adapun masalah jual beli, nikah dan yang mirip dengan keduanya, yang hukum asalnya tidak wajib, maka haram melakukannya kecuali setelah mengetahui syarat-syaratnya” (dari Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 30/293).

Ibnu ‘Abidin juga mengatakan:

وفرضٌ على كلِّ مكلّفٍ ومكلّفةٍ بعدَ تعلّمِه علمَ الدينِ والهدايةِ ، تعلُّمُ علمِ الوضوءِ والغسلِ والصلاةِ الصومِ وعلم الزكاة لمن له نصاب ، والحجّ لمن وجب عليه .والبيوعِ على التّجّارِ ليحترزوا عن الشّبهاتِ والمكروهاتِ في سائرِ المعاملاتِ ، وكذا أهلِ الحِرَفِ

“Bagi setiap mukallaf laki-laki maupun wanita setelah ia belajar tentang ilmu agama dan hidayah (baca: akidah), wajib bagi mereka untuk belajar ilmu tentang wudhu, mandi, shalat, puasa zakat, nisab-nisabnya. Juga belajar tentang haji dan siapa yang wajib haji. Juga bagi para pedagang, wajib belajar tentang jual-beli, agar mereka terhindar dari syubhat dan perkara-perkara yang makruh dalam semua muamalah. Demikian juga para pekerja” (dari Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 30/293).

Mengapa harus berilmu dulu?

Para pengusaha dan para praktisi usaha harus berilmu tentang fikih muamalah sebelum menjalankannya, agar terhindar dari riba dan muamalah-muamalah yang diharamkan.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu mengatakan:

مَنِ اتَّجَرَ قبلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِيْ الرِّبَا ، ثُمَّ ارْتَطَمَ ، ثُمَّ ارْتَطَمَ . أي : وقع في الربا

“Siapa saja yang berjual-beli sebelum mengilmui fikih jual-beli, maka ia akan terjerumus dalam riba, semakin terjerumus, dan semakin terjerumus”.

Kata “irtathoma” artinya: terjerumus dalam riba” (Mughnil Muhtaaj [2/22] karya Al Khathib Asy Syarbini).

Demikian juga, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abidin di atas, agar terhindar dari perkara-perkara yang syubhat dan dimakruhkan dalam jual-beli.

Apa harus mempelajari semua bab fikih muamalah?

Jawabnya: tidak harus. Namun yang wajib dipelajari adalah bab-bab fikih jual beli yang terkait dengan usahanya. Sampai ia bisa menjalankan hal-hal yang wajib dan terhindar dari perkara-perkara yang haram dalam usahanya.

Al Ghazali rahimahullah berkata:

لو كان هذا المسلمُ تاجرًا وقد شاعَ في البلدِ معاملةُ الربا ، وجبَ عليهِ تعلُّمُ الحذرِ من الربا ، وهذا هو الحقُّ في العلمِ الذي هو فرضُ عينٍ ، ومعناه العلمُ بكيفيةِ العملِ الواجب

“Andaikan seorang Muslim hidup di negeri yang tersebar riba di dalamnya, maka wajib baginya mempelajari ilmu yang menghindarkan dirinya dari riba. Inilah pendapat yang tepat tentang ilmu apa yang termasuk fardhu ‘ain. Yaitu, ilmu yang cukup untuk membuat ia menjalankan kewajiban (agama)” (Ihya Ulumiddin, 1/33).

Jika ada yang berkata, “wah kelamaan… pusing dan repot belajar fikih dulu, nanti usaha ngga jalan-jalan”.

Ya terserah anda. Tapi, lebih baik menelan pahitnya belajar, dari pada merasakan pahitnya harta haram.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

__

Penulis: Yulian Purnama

Muslim.or.id

Orang Merugi Yang Tak Pernah Untung!

Allah Swt Berfirman :

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا – ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatan-perbuata nya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (QS.Al-Kahfi:103-104)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran indah di dalamnya, namun kali ini kita akan mengutip satu sisi saja dari beragam keindahannya.

Kita akan berhenti pada kata أَعمَالًا. Sebuah kata yang berbentuk Jama’ (lebih dari satu) yang memiliki arti “perbuatan”.

Uniknya, ayat ini tidak menyebutkan الأخسرين عملاً (orang yang paling merugi “perbuatannya”) namun menggunakan bentuk Jama’ yakni الأخسرين أعمالاً (yang paling merugi “perbuatan-perbuatannya”).

Dari pilihan kata ini kita akan mengambil beberapa pelajaran indah, yaitu :

1. Nilai amal manusia bergantung pada kata “diterima” atau “ditolak”. Sebesar apapun dan sebanyak apapun amal seseorang tak akan berarti bila tidak diterima oleh Allah Swt.

Nah diterimanya amal perbuatan seseorang bergantung pada kadar keimanan dan sejauh mana keikhlasannya. Karenanya, Allah Swt Berfirman :

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS.Al-Mulk:2)

Maka tolok ukurnya adalah amal yang terbaik, bukan amal yang terbanyak. Walaupun kita selalu ingin melalukan yang terbaik dengan jumlah yang banyak pula. Namun kita harus lebih fokus pada kualitas amal, bukan jumlahnya!

2. Dari kata أعمالا ini kita juga belajar bahwa orang yang disebut merugi dalam ayat ini bukan hanya merugi karena satu perbuatan. Namun kebodohan mereka menjadikan seluruh perbuatan mereka tidak bernilai bahkan membawa kerugian.

Seorang pengusaha terkadang merugi dalam berdagang namun di waktu yang lain ia bisa mendapat keuntungan yang menutup semua kerugian sebelumnya. Dan hasil akhirnya ia masih mendapat banyak untung.

Namun hal ini berbeda dengan orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini. Semakin banyak amal yang dilakukan mereka semakin merugi, karena mereka pikir banyaknya amal mereka membawa kebaikan namun malah membawa kerugian.

وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

“Sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.”

3. Waspadalah selalu dengan amal perbuatan yang tidak diterima oleh Allah Swt.

Seringkali manusia sibuk melakukan banyak amal namun melupakan pentingnya menjaga amal tersebut agar diterima.

Terkadang di awal ia melakukannya dengan penuh keikhlasan, namun di tengah jalan hatinya mulai dikuasai perasaan Ujub, Riya’ atau Hasud. Karenanya dalam salah satu petikan doa disebutkan :

وَأَستَغفِرُكَ لِمَا أَرَدْتُ بِهِ وَجهَك فَخَالَطَنِي مَا ليسَ لَك

“Dan aku memohon ampunan kepada-Mu ketika aku menginginkan sesuatu hanya untuk-Mu kemudian (hatiku) tercampuri dengan selain-Mu.”

Maka tugas kita adalah selalu :

1. Memperhatikan amal sebelum melakukannya.

2. Berhati-hati ketika melakukannya.

3. Dan selalu mengkoreksi diri setelah melakukannya.

Agar hati kita tenang dan yakin bahwa amal kita diterima oleh Allah Swt. Bila tidak, maka sebesar apapun amal yang kita tumpuk semuanya akan terbang sia-sia bagaikan debu.

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS.Al-Furqan:23)

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Naskah Khutbah Idul Adha Hanya 10 Menit, Lima Pelajaran dari Qurban Nabi Ibrahim

Khutbah Idul Adha kali ini dibuat singkat karena kondisi pandemi, tetapi tetap ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari qurbannya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.

Khutbah Pertama

Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Walillahil hamd.

Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad.

Ayyuhan naas, ittaqullaha haqqa tuqootih.

Innaa a’thainaakal-kautsar, fashollii li robbika wanhar, innaa syaaniaka huwal abtar.

Jama’ah rahimani wa rahimakumullah, jama’ah yang senantiasa dirahmati dan diberkahi oleh Allah …

Hari Jumat ini bertepatan dengan dua Id.

Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Id (hari Id bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.” (HR. Abu Daud, no. 1070; An-Nasa’i, no. 1592; Ibnu Majah, no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dalil di atas menjadi dalil boleh memilih antara shalat Jumat dan shalat Id. Akan tetapi, mengerjakan kedua shalat tersebut lebih baik. Bagi yang memilih tidak shalat Jumat karena di pagi harinya telah shalat Id, maka hendaklah mengganti dengan shalat Zhuhur.

Terkait dengan qurban, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ibadah ini berasal dari kisah Nabi Ibrahim saat ingin menyembelih putranya Ismail. Kisah ini bisa ditelaah lebih jauh dalam surah As-Saffat ayat 99 – 111.

Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail ‘alaihis salam sebagaimana disebutkan dalam ayat,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102)

Ketika Isma’il berada dalam usia gulam dan ia telah sampai pada usia sa’ya, yaitu usia di mana anak tersebut sudah mampu bekerja. Pada usia tersebut, Ibrahim sangat mencintainya dan Nabi Ibrahim merasa putranya benar-benar sudah bisa mendatangkan banyak manfaat. Saat anaknya seperti itulah, Ibrahim mendapatkan ujian berat.

Lihatlah ketika mendengar mimpi ayahnya untuk menyembelihnya, Ismail sangatlah patuh. Ia pun menyatakan dirinya bisa bersabar dan mendorong ayahnya untuk bersabar pula.

Inilah yang seharusnya jadi teladan kita, yaitu patuh, sabar, dan tawakal kepada Allah. Mudah-mudahan kita mendapatkan istri dan anak yang patuh pada Allah, sabar dan benar-benar bertawakal kepada-Nya, begitu pula kita menjadi orang yang demikian.

Lalu dalam lanjutan ayat disebutkan,

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya).” (QS. As-Saffat: 103)

وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ

Dan Kami memanggilnya, “Hai Ibrahim.” (QS. As-Saffat: 104)

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. As-Saffat: 105)

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. As-Saffat: 106)

Dengan sikapnya ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dipuji,

كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. As-Saffat: 110). Ibrahim termasuk orang yang berbuat baik (berbuat ihsan) dalam ibadah, bermuamalah baik dengan sesama, ia mendapatkan jalan keluar dari kesulitan yang ia hadapi, dan ia mendapatkan balasan yang baik.

Lalu disebutkan,

إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ

Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. As-Saffat: 111).

Pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim berqurban

  1. Ibrahim adalah orang yang taat pada perintah Allah.
  2. Nabi Ibrahim tidak membantah wahyu, ia sangat patuh pada wahyu.
  3. Kecintaan pada Allah lebih didahulukan oleh Nabi Ibrahim dari kecintaan pada anak.
  4. Sifat anak yang saleh adalah patuh pada orang tua seperti patuhnya Ismail pada ayahnya Ibrahim.
  5. Bersabar di balik kesulitan pasti akan datangkan kemudahan. Termasuk saat ini kita bersabar tanpa batas di masa pandemi.

Semoga jadi pelajaran penuh manfaat. Aquulu qoouli hadza, wastaghfirullaha lii, innahu huwas samii’ul ‘aliim.

Khutbah kedua

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar. Walillahil hamd.

Alhamdulillahi Robbil ‘aalamiin.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad.

Wal ‘ashr, Innal insaana lafii khusr, illalladziina aamanuu wa ‘amilush sholihaati wa tawaa-show bil haqqi wa ta-waashow bish shobr.

Ayyuhan naas, ittaqullaha haqqa tuqootih.

Allahummaghfir lil muslimiina wal muslimaat, wal mu’miniina wal mu’minaat, al-ahyaa’ minhum wal amwaat.

Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhirooti hasanah wa qinaa ‘adzaban naar.

Bi rohmatika yaa arhamar roohimiin.

Taqobbalallahu minna wa minkum.

Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Referensi Khutbah:

Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Penjelasan Shalat Idul Adha

  1. Shalat Idul Adha terdiri dari dua rakaat.
  2. Shalat Idul Adha dimulai dengan niat (niatan shalat Id, cukup dalam hati) dan takbiratul ihram (ucapan “Allahu Akbar” di awal).
  3. Cara melakukan shalat Idul Adha sama dengan melakukan shalat lainnya.
  4. Setelah takbiratul ihram membaca doa iftitah (istiftah) sebagaimana shalat lainnya.
  5. Setelah membaca doa iftitah, melakukan takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama (selain takbir untuk takbiratul ihram dan takbir turun rukuk). Sedangkan pada rakaat kedua, melakukan takbir tambahan sebanyak lima kali (selain takbir bangkit dari sujud dan takbir turun rukuk). Jika takbir tambahan (zawaid) ini hanya sunnah, sehingga kalau luput tidak mesti diulangi. Jika ada makmum yang masbuk saat takbir zawaid, cukup mengikuti sisa takbir yang ada tanpa qadha’.
  6. Setiap kali takbir zawaid disunnahkan mengangkat tangan. Setelah itu disunnahkan di antara dua takbir tambahan meletakkan tangan kanan di depan tangan kiri di bawah dada sebagaimana bersedekap setelah takbiratul ihram.
  7. Di antara takbir zawaid (tambahan), disunnahkan berhenti sejenak sekadar membaca satu ayat pertengahan. Saat itu bisa membaca takbir atau mengagungkan Allah. Yang paling bagus di antara takbir zawaid adalah membaca: SUBHANALLAH WAL HAMDU LILLAH WA LAA ILAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR. Setelah takbir ketujuh pada rakaat pertama dan takbir kelima pada rakaat kedua tidak ada bacaan takbir dan dzikir.
  8. Setelah takbir zawaid, membaca surah Al-Fatihah. Setelah surah Al-Fatihah dianjurkan membaca surah Qaf pada rakaat pertama dan surah Al-Qamar pada rakaat kedua, atau membaca surah Al-A’laa pada rakaat pertama dan surah Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.
  9. Bacaan surah saat shalat Idul Adha dikeraskan (jahr), begitu pula dengan bacaan takbir, sedangkan dzikir-dzikir lainnya dibaca lirih (sirr).

[Diringkas dari Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii]

Aturan Khutbah Idul Adha

  1. Khutbah Idul Adha adalah sunnah setelah shalat Id.
  2. Khutbah Idul Adha ada dua kali khutbah, rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat.
  3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk.
  4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir.
  5. Rukun khutbah: (a) memuji Allah, (b) shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (c) wasiat takwa kepada Allah, (d) membaca satu ayat, (e) berdoa.
  6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Akan tetapi, mendengarkan khutbah Idul Adha bukanlah syarat sahnya shalat Id.

[Diringkas dari penjelasan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii]

Disusun di Darush Sholihin, 9 Dzulhijjah 1441 H (30 Juli 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com